Drg. Oei Hong Kian: Bung Karno Pasien Saya (2)

Nur Resti Agtadwimawanti

Editor

Drg. Oei Hong Kian: Bung Karno Pasien Saya (2)
Drg. Oei Hong Kian: Bung Karno Pasien Saya (2)

Intisari-Online.com - Awal tahun 1967, saya didatangi dokter pribadi Bung Karno, dr. Tan. Katanya, BK sakit gigi. Saya diminta segera datang ke istana. Saya belum pernah merawat gigi BK, karena BK biasa berobat pada drg. X, yang saat itu sudah pindah ke luar negeri.

Lelucon miring

Gigi BK memerlukan perawatan yang agak intensif sehingga saya harus datang berulang-ulang ke istana. Suatu kali, selesai perawatan gigi, saya diajak BK berjalan-jalan di halaman. Kemudian kami duduk-duduk di kursi rotan di serambi belakang sambil minum. Muncullah dua orang Jepang, diantar seorang wanita Jepang. Nyonya itu kebetulan juga pasien saya. Suaminya seorang pengusaha Indonesia. Rupanya ia bertindak sebagai penerjemah. Saya buru-buru minta diri, tetapi BK menarik lengan saya.

"Duduk dulu," katanya. "Tidak ada rahasia."

"Kami membawa sekadar oleh-oleh untuk Bapak," kata juru bicaranya. Oleh-oleh itu berupa kapal-kapalan mungil, mirip kerajinan perak dari Kendari. Kapal itu terbuat dari emas dan perak. Entah emas tulen, entah sepuhan.

"Oleh-oleh ini untuk Presiden RI atau Ir. Soekarno pribadi?" tanya BK. Pada saat itu resminya BK memang masih Presiden RI, walaupun boleh dikatakan sudah tidak berkuasa lagi. Namun, tampaknya BK riang gembira saja sehingga saya heran.

BK sering bersenda gurau, menceritakan lelucon-lelucon yang pasti sudah berulang-ulang ia ceritakan kepada beragam pendengar. Mereka pasti juga memberi reaksi berlebihan untuk menyenangkan BK. Di antara lelucon-lelucon itu tentu saja ada yang 'miring'.

Saya hanya berani mengulangi yang miring ringan di sini: "Teng Jepang mboten wonten ingkang sugeng" (Di Jepang tidak ada yang sehat). Namun, sugeng di sini maksudnya susu ageng= payudara besar.

Istana makin sepi

Saya tidak tahu apa sebenarnya yang bergejolak di balik senyum simpul dan kelakar pria yang sudah dua puluh tahun menjadi presiden negara berpenduduk no. 5 terbanyak dunia itu. Sekian lama BK dapat memerintah setiap menteri dan jenderal. Selama itu BK selalu sibuk dan dikelilingi banyak orang. Namun, sekarang BK kehilangan kekuasaan dan diliputi kesepian.

Suasana di istana menjadi sangat lengang. Pengunjung tak ada lagi. Saya hanya sempat melihat seorang saja yang masih setia datang, yaitu pengusaha Dasaad. Kepada saya yang baru mereka kenal, BK dan Dasaad menceritakan pergaulan mereka semasa masih muda di Bandung.

"Kalau tidak ada Bapak Dasaad, Bapak tidak bisa membeli apa-apa di luar negeri," kata BK. Dasaad hanya tertawa saja. "Saya 'kan sejak dulu banyak berutang budi kepada Bung Karno," katanya.

Kalau tiba saatnya untuk pulang, sering saya ditahan BK, diajak mengobrol atau makan bubur manado dengan ikan asin. Minumnya sari jambu klutuk.Apakah fotonya masih dihargai?Tanggal 7-12 Maret 1967 ada Sidang Umum MPRS, yang memutuskan: mencabut kekuasaan memerintah negara Rl dari Presiden Soekarno dan menarik kembali mandat yang diberikan kepadanya.

Pertengahan April 1967, saya kedatangan utusan yang menyampaikan salam dari BK. la mengantarkan satu set vulpen dan bolpen merk Mont Blanc, sehelai dasi putih dari sutera dengan inisial S, dan satu botol besar minyak wangi Shalimar buatan Guerlain. Selain itu, ia juga menyampaikan sebuah sampul besar berisi foto Bung Karno ukuran 17,5 x 23 cm dengan tulisan: "Untuk dr. Oey Hong Kian" dan dibubuhi tanda tangan BK serta tanggal 12-4-1967.

Menurut utusan itu, BK mengharapkan saya masih dapat menghargai foto itu. BK juga minta maaf karena tidak bisa memberi apa-apa lagi. Pada saat utusan itu datang, saya sedang disibukkan pekerjaan sehingga tidak sempat bercakap-cakap lama. Saya cuma sempat menanyakan keadaan BK. "Baik-baik saja," jawabnya. Saya memintanya menyampaikan salam saya kepada BK dan menyatakan saya sangat menghargai kiriman BK.

Malam hari, setelah pekerjaan saya selesai, saya memperhatikan foto BK dengan saksama. Saya merasa terharu. BK pasti sedang dalam keadaan sulit sekarang, tetapi rupanya ia tidak lupa menunjukkan penghargaan kepada dokter giginya yang baru ia kenal beberapa bulan.

Saya juga merasa terharu, mengingat pertanyaan yang disampaikan BK: Apakah saya masih dapat menghargai fotonya? Maklum foto itu diberikan pada saat ia bukan presiden lagi. Mungkin foto itu termasuk salah satu foto terakhir yang ia berikan secara pribadi kepada seseorang.

Tanpa ajudan

Waktu itu saya mengira tidak pernah akan berjumpa lagi dengan BK. Sementara itu, menurut berita-berita burung yang saya dengar, kesehatan BK merosot drastis karena tidak tahan menerima pukulan mental. Ingatannya sudah lemah, jalannya pincang.

Pada suaru hari, sekitar awal bulan September 1967, dokter pribadi BK memberi tahu bahwa BK ingin berobat lagi. BK akan datang ke rumah saya. Saya pun menanyakan, betulkah keadaan BK separah yang saya dengar selama ini? "BK memang sakit," jawabnya, "tetapi tidak seperti yang dibayangkan banyak orang."

Karena saya percaya pada kabar-kabar yang saya dengar sebelumnya, saya tidak yakin benar BK akan datang pukul 09.00 keesokan harinya. Dokter pribadi BK berpesan agar saya memperhatikan keamanan BK. Apa yang bisa dilakukan seorang dokter gigi untuk melindungi keamanan seorang pasiennya?, pikir saya. Apalagi orang itu kebetulan BK. Saya sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang security.

Saya memutuskan agar BK memasuki rumah saya lewat pintu samping. Kedua mobil saya akan dikeluarkan dari garasi, lalu pintu garasi akan dibuka lebar-lebar. Begitu mobil BK masuk ke garasi, pintunya akan ditutup. BK bisa turun dari mobil dan masuk ke rumah lewat pintu samping.

Pukul 08.45 keesokan harinya, seorang prajurit datang mengendarai jip militer. Saya sudah lupa apa pangkatnya. la menyetujui prosedur saya perihal penerimaan BK. Tepat pukul 09.00 BK tiba dengan Mercedes 600, diiringi lima jip putih penuh prajurit. Jadi sama betul dengan masa BK masih presiden. Cuma saja tidak ada raungan sirene dan fungsi pengawalan itu berbeda.

Para prajurit melompat ke luar dari mobil dan mengambil posisi di taman para tetangga, selain di halaman rumah saya sendiri. Saya pun membuka pintu Mercedes yang anggun itu. BK duduk di bangku belakang yang sangat lapang, tetapi tanpa ajudan. Celananya abu-abu. Bajunya putih berlengan pendek dan dibiarkan keluar. Peci hitam tidak ketinggalan.

BK kelihatan sehat walafiat. Dengan gesit, tanpa bantuan, ia keluar dari mobil.

"Selamat pagi, Pak Dokter," sapanya sambil mengulurkan tangan. "Tidak disangka-sangka, ya, kita akan bertemu lagi dalam waktu secepat ini. Ini gigi saya ada yang terganggu. Bagaimana, baik-baik semua?"

Sikapnya biasa saja, seolah-olah tidak ada yang mengganjal hatinya sedikit pun. (Intisari)