Intisari-Online.com - Awal tahun 1967, saya didatangi dokter pribadi Bung Karno, dr. Tan. Katanya, BK sakit gigi. Saya diminta segera datang ke istana. Saya belum pernah merawat gigi BK, karena BK biasa berobat pada drg. X, yang saat itu sudah pindah ke luar negeri.
Lelucon miring
Gigi BK memerlukan perawatan yang agak intensif sehingga saya harus datang berulang-ulang ke istana. Suatu kali, selesai perawatan gigi, saya diajak BK berjalan-jalan di halaman. Kemudian kami duduk-duduk di kursi rotan di serambi belakang sambil minum. Muncullah dua orang Jepang, diantar seorang wanita Jepang. Nyonya itu kebetulan juga pasien saya. Suaminya seorang pengusaha Indonesia. Rupanya ia bertindak sebagai penerjemah. Saya buru-buru minta diri, tetapi BK menarik lengan saya.
"Duduk dulu," katanya. "Tidak ada rahasia."
"Kami membawa sekadar oleh-oleh untuk Bapak," kata juru bicaranya. Oleh-oleh itu berupa kapal-kapalan mungil, mirip kerajinan perak dari Kendari. Kapal itu terbuat dari emas dan perak. Entah emas tulen, entah sepuhan.
"Oleh-oleh ini untuk Presiden RI atau Ir. Soekarno pribadi?" tanya BK. Pada saat itu resminya BK memang masih Presiden RI, walaupun boleh dikatakan sudah tidak berkuasa lagi. Namun, tampaknya BK riang gembira saja sehingga saya heran.
BK sering bersenda gurau, menceritakan lelucon-lelucon yang pasti sudah berulang-ulang ia ceritakan kepada beragam pendengar. Mereka pasti juga memberi reaksi berlebihan untuk menyenangkan BK. Di antara lelucon-lelucon itu tentu saja ada yang 'miring'.
Saya hanya berani mengulangi yang miring ringan di sini: "Teng Jepang mboten wonten ingkang sugeng" (Di Jepang tidak ada yang sehat). Namun, sugeng di sini maksudnya susu ageng= payudara besar.
Istana makin sepi
Saya tidak tahu apa sebenarnya yang bergejolak di balik senyum simpul dan kelakar pria yang sudah dua puluh tahun menjadi presiden negara berpenduduk no. 5 terbanyak dunia itu. Sekian lama BK dapat memerintah setiap menteri dan jenderal. Selama itu BK selalu sibuk dan dikelilingi banyak orang. Namun, sekarang BK kehilangan kekuasaan dan diliputi kesepian.
Suasana di istana menjadi sangat lengang. Pengunjung tak ada lagi. Saya hanya sempat melihat seorang saja yang masih setia datang, yaitu pengusaha Dasaad. Kepada saya yang baru mereka kenal, BK dan Dasaad menceritakan pergaulan mereka semasa masih muda di Bandung.
"Kalau tidak ada Bapak Dasaad, Bapak tidak bisa membeli apa-apa di luar negeri," kata BK. Dasaad hanya tertawa saja. "Saya 'kan sejak dulu banyak berutang budi kepada Bung Karno," katanya.
Penulis | : | Nur Resti Agtadwimawanti |
Editor | : | Nur Resti Agtadwimawanti |
KOMENTAR