Intisari-Online.com - Awal tahun 1967, saya didatangi dokter pribadi Bung Karno, dr. Tan. Katanya, BK sakit gigi. Saya diminta segera datang ke istana. Saya belum pernah merawat gigi BK, karena BK biasa berobat pada drg. X, yang saat itu sudah pindah ke luar negeri.
Tetap senang bergurau
Setelah acara basa-basi itu, saya persilakan BK masuk ke kamar praktik dari pintu di dalam rumah. Seorang prajurit mengikuti kami. Saya tidak bisa bekerja sambil ditunggui, jadi saya memintanya menunggu di luar. Untunglah ia mau mengerti, walaupun semula menolak.
Saya dibantu keponakan istri saya, seorang wanita dokter gigi. BK rupanya selalu ingat pada nama-nama orang yang dijumpainya. Setelah itu kalau keponakan istri saya tidak ada, BK tak pernah lupa menanyakannya.
Saya merasa lega melihat BK tidak dalam keadaan menyedihkan. Saya sudah menanyakan kepada dokter pribadinya, apakah BK boleh mendapat suntikan kalau diperlukan. "Boleh saja," jawabnya.
Pria yang duduk di kursi praktik saya itu ternyata masih tetap berpikiran jernih. Sikapnya masih riang seperti dulu-dulu dan percakapannya juga penuh humor. Sambil melepaskan pecinya, BK bertanya, "Saya ingin tahu apakah Pak Dokter masih bisa menghargai foto saya."
"Pak," jawab saya, "Bapak tentu pernah memberikan foto Bapak kepada banyak orang, tetapi karena Bapak mengirimkannya kepada saya pada saat itu, foto itu tinggi nilainya bagi saya."
Jawaban itu bukan saya berikan dengan basa-basi. Saya belum lama mengenal BK. Saat ia sangat terpukul karena pamornya merosot, ternyata ia masih ingat menyampaikan cendera mata kepada saya. Apakah itu penghargaan atas pelayanan saya sebagai dokter gigi, ataukah tanda mata bagi salah seorang dari beberapa gelintir orang yang membantu mengusir kesepiannya di saat sulit, walaupun cuma sebentar saja?
"Bapak saat ini tidak bisa memberi imbalan apa-apa," katanya. Saya sampai tidak bisa berkata-kata.
Tak pernah jam karet
Ketika akan pulang, BK minta bertemu dengan istri saya Di ruang duduk, istri saya menyilakan BK duduk untuk minum teh dulu, tetapi BK menolak. "Terima kasih. Nanti suami Anda bisa dikira yang bukan-bukan, kalau saya berlama lama di sini," katanya.
Suatu kali, ketika ia datang, putri saya sedang membuat PR. BK berhenti sebentar di sebelahnya untuk melihat apa yang dibuat anak saya itu. Kemudian ia mengusap-usap kepala anak saya sambil berkata, "Belajar baik-baik, ya, Nak. Supaya nanti pandai!"
Penulis | : | Nur Resti Agtadwimawanti |
Editor | : | Nur Resti Agtadwimawanti |
KOMENTAR