Intisari-Online.com - Estee ingin mengepakkan sayapnya di Eropa, tapi di dalam negeri ia masih harus menghadapi produk-produk lain yang lebih besar. Misalnya Helena Rubinstein dengan Bio-Facial Treatment, Revlon dengan Ultima Cream, Elizabeth Arden Creme Extraordinaire, juga Cosmetiques Biotherm dengan planktonnya. Sedangkan Estee? Formula khas harus diciptakan jika tak mau ketinggalan. Kalau perlu menciptakan jenis yang kira-kira sama tapi harganya lebih murah, seperti beberapa produknya: Creme Plastique seharga AS$5, krim untuk memerangi kerut mata seharga AS$2,5 - 5, atau Special Throat Creme seharga AS$3-5.
Namun yang muncul adalah Re-Nutriv, produk yang sangat mahal. Krim ini memang sengaja mengikuti jejak Orlane B-21 yang laku keras, meski harga kemasan 70,8 g mencapai AS$75. Maka Estee memasang bandrol Re-Nutriv dengan harga AS$115. Dipilihlah halaman belakang majalah-majalah bergengsi macam Vogue dan Harper's Bazaar untuk mengiklankannya. Kalau perlu dengan artikel sponsor di halaman dalam. Rupanya, cara ini juga ditempuh produsen-produsen lain.
Maka persaingan di kancah kosmetik makin marak. Ketika Estee memindahkan kantor pusatnya di lantai 2 sebuah gedung di Fifth Avenue No. 666, Charles Revson menempati kantor di lantai paling atas, dan Helena Rubinstein memilih tempat di gedung seberang jalan. Masing-masing punya maksud untuk saling mengintai kegiatan. Namun ketika Revlon makin meraksasa dengan cat kuku dan Leonard menyarankan produksi yang sama, Estee enggan ikut-ikutan. Masalahnya bukan karena tak etis kalau menjarah lahan orang, melainkan karena, "Kita belum sanggup melawan mereka," kata Estee.
Ketika Estee bergelut dengan upaya memperbesar usaha, Helena Rubinstein meninggal dunia. Kejadiannya tepat di April Mop tahun 1965, dalam usia 93. Madame Rubinstein, yang juga bergelar putri Gourielli sejak dipersunting pangeran dari Georgia, meninggal karena serangan jantung setelah beberapa kali mengalami stroke. Perusahaannya, yang sebagian sahamnya dijual kepada masyarakat, dibeli Colgate. Maka produk kecantikan Sang Madame pun diperlakukan sebagai sabun atau pasta gigi.
Setahun kemudian, Elizabeth Arden menyusul, dalam usia sekitar 81 atau 84. Salah satu ratu kosmetik, yang bernama asli Florence Nightingale Graham - dan sampai menjelang ajal masih suka memegang erat tas kulit buaya sekalipun di ruang keluarganya sendiri – itu meninggalkan kerajaan bisnis jutaan dolarnya dalam keadaan tercerai-berai.
Dunia kosmetik AS memang kehilangan tokoh-tokoh besar. Namun bagi Estee, duka cita itu juga pengurangan rivalitas. Berarti, jalan untuk sampai puncak menjadi lebih mudah, sekalipun yang harus dihadapi adalah raksasa selama beberapa dekade.
Tahun 1937, umpamanya, ketika Estee masih menjajakan krim buatan Paman John, Charles Revson pemilik Revlon, telah meraup untung dari produk pemoles kuku dan mampu menggaji dirinya sebesar AS$16.500. Lantas ia memperkenalkan lipstik pada 1940, hingga total penjualannya mencapai AS$2,8 juta. Omset itu, jelas Andrew Tobias dalam biografi Revson berjudul Fire and Ice, berlipat enam kali di akhir dasawarsa 1940-an, tujuh kali dalam dekade 1950- an, dan hampir tiga kali lipatnya pada dekade berikutnya.
Kendati tahun 1965 omset Estee sudah sekitar AS$14 juta, Revlon jauh di atas itu. Apalagi dengan jumlah toko sekitar 15.000, dibandingkan dengan milik Estee yang tak lebih dari 1.200 buah.
Namun Estee memiliki satu keunggulan dibandingkan dengan Revson, yakni kesetiaan akan hal-hal yang orisinal. Secara moral, ia lebih unggul. Sebagai perusahaan kosmetik yang masih muda ia tak akan sembarangan dalam me-"ngecap"-kannya. Ia juga menunggu reaksi dari setiap pembeli produknya. Walaupun juga berharap agar dagangannya makin laku. Sementara Revson, seperti diceritakan Mike Sager, bekas kepala perwakilan Revlon di Pantai Barat AS, sering gegabah dalam mengontrol mutu barang karena menang nama. "Ia bahkan pernah menganjurkan agar kami mencontoh racikan produk-produk lain dan kami beri merek sendiri. Toh mereka tak bisa apa-apa karena kita berada di barisan paling depan."
Maka, ketika awal 1965 Estee Lauder mengeluarkan 21 jenis produk untuk kaum pria dengan merek Aramis, Revlon pun pada tahun berikutnya menyusul dengan produk sejenis yang diberi nama Braggi. Ketika Estee Lauder beriklan dengan foto-foto hitam-putih (hanya karena ia tak punya pilihan warna), Revlon pun menempuh cara yang sama. Harry Doyle yang pernah jadi bawahan Revlon pun berkomentar, "Kalau begini caranya, Anda mengalami kemunduran. Perilaku Anda tidak mencerminkan kelas Anda, justru orang lain yang mestinya lebih rendah yang punya kelas."
Menghadapi hal ini, Estee tak ambil pusing. "Setiap orang menjiplak karya orang lain. Kalaupun saya melakukannya, orang lain tak akan tahu. Pun sebelum saya bikin minyak mandi beraroma, orang telah lama kenal minyak mandi," katanya kepada Marilyn Bender dari The New York Times.
Ulah Revson memunculkan slogan yang cukup populer di kantor-kantor Estee, "Separuh litbang Revlon dilakukan di sini."
Bertahun-tahun setelah itu, kendatipun unggul dalam sisi moral, secara bisnis Estee Lauder tetap jatuh sebagai pecundang. Ia tertinggal jauh dalam promosi ketimbang Revlon yang mampu mengontrak gadis-gadis model sebagai pembawa simbol, menyelenggarakan gala dinneruntuk para tokoh dan pejabat, juga mensponsori acara televisi. Revlon bahkan mampu menciptakan tren warna-warna lipstik di kalangan remaja. Menyerbu warna apa di musim ini, kemudian menunggu warna apa yang keluar musim nanti.
Estee, yang hampir tak pernah mendapat keberuntungan sepanjang dasawarsa 1960-an, tiba-tiba memperoleh kehormatan mendandani Duchess of Windsor yang berkunjung ke AS pada April 1966. Pada saat itu, kepercayaan yang diberikan bangsawan kepada sebuah merek kosmetik membuahkan gengsi tersendiri. Apalagi Duchess of Windsor yang aslinya adalah wanita Amerika bernama Wallis Simpson ini amat terkenal. Raja Inggris Edward VIII rela turun takhta demi menikahinya. Pasangan yang amat romantis itu kemudian dikenal sebagai Duke dan Duchess of Windsor. Dampaknya pun langsung terwujud, karena dari situ peluang Estee untuk bergaul di kalangan atas makin terbuka. Pada sisi ini, Estee Lauder jauh mengungguli Revlon.
Menang di parfum karena perempuan
"Keraton" kosmetik Estee Lauder makin menjulang dengan keterlibatan penuh Leonard dan Ronald. Lewat pemikiran kedua putra ini pula, Clinique, "anak" Estee Lauder muncul dan mengambil markas di New York. Kesulitan menghadang Charles Revson, karena ia harus berhadapan dengan dua anak panah sekaligus.
Untung, Revson tak tergelincir pada kedunguan kedua. Selusin eksekutif dan pakar ia pekerjakan untuk memperkokoh posisi dalam produksi lipstik, pemoles kuku, dan make-up. Sedangkan Estee makin kuat juga menancapkan kiprahnya di kancah wewangian. Orang pun punya kesan, Revson adalah raksasa di bagian "yang terlihat", dan Estee di bidang "yang tercium". Keduanya sama-sama besar.
Apa komentar wanita ini? "Saya besar di parfum karena saya perempuan. Saya suka wewangian dan tak pernah lupa memakainya dalam kesempatan apa pun. Dari situlah saya tahu, perempuan membutuhkan parfum."
Berdasarkan pemikirannya yang cemerlang, lahirlah beberapa produk untuk berbagai kesempatan. "Jika tak mau kehilangan keharuman ketika berolahraga, tak perlu mengikat bunga mawar di kepala selagi main tenis. Anda cukup meneteskan parfum aroma mawar ke tubuh Anda, 'kan?"
Sejak Youth-Dew muncul di tahun 1954, beberapa ragam wewangian telah dimunculkan. Estee (1969), Aliage (1972), Private Collection (1973), Estee Daytime dan Edu d'Aliage (1976), dan seterusnya.
"Perang" memang belum sepenuhnya usai. Ketika Estee terlena dalam kemenangan di kancah wewangian, dan Revlon juga sedang gencar mempromosikan Charlie, sebuah produk Eropa muncul dan langsung mengentak. Penciptanya sungguh piawai memanfaatkan ketenaran sebagai perancang busana, dunia yang hampir tak terpisahkan dari kosmetik. Dialah Yves Saint Laurent, desainer Prancis nan kondang yang sejak 1975 mengincar Asia dan AS. Ia menciptakan parfum khas dengan merek Opium, dan mendukungnya dengan promosi dan pergelaran busana besar-besaran.
Amerika tercengang. Estee bahkan nyaris tak bisa apa-apa kecuali mengomentari, "Coba Anda perhatikan, bukankah aroma Opium sangat mirip dengan Youth-Dew saya?"
Tak ada cara lain buat menyaingi produk Prancis itu daripada memperkuat basis dan melebarkan sayap langsung ke jantung Eropa. Tak perlu dengan produk baru, tapi cukup memodifikasi sesuatu yang telah ada dan sangat dikenal. Atas peran Leonard Lauder, muncullah Cinnabar, versi lain dari Youth-Dew. "Dengar kesan konsumen. Perkokohlah sesuatu yang telah jadi kekuatanmu. Begitu pesan Ibu ketika saya remaja," kata Leonard saat permunculan Cinnabar, 1978.
Untuk melawan Opium, Cinnabar tak bisa sendiri. Lagi pula, bukankah produk untuk kaum pria telah merasuk ke dalam diri para penggemar? Berarti, sisi ini harus pula diperkuat. Maka Aramis pun diikuti oleh generasi berikutnya, Devin. Sejak itu, kancah "perang" produk untuk kaum lelaki jadi marak. Sampai akhir dasawarsa 1970-an, pasar dikuasai berbagai merek sekaligus. Di luar produk Revlon dan Saint Laurent, muncul pula Polo yang diciptakan Ralph Lauren dan mantan pimpinan Aramis, George Friedman.
Namun Estee Lauder dengan Aramis, Aramis 900, dan "adik-adiknya" lebih berjaya dalam mengeduk keuntungan. Tahun 1978, misalnya, nilai penjualan Aramis sekitar AS$40 juta. Angka yang sangat memuaskan jika ditempatkan dalam penjualan total produk kosmetik Estee yang AS$175 juta dan Clinique yang AS$80 juta. Berarti, wewangian untuk kaum pria semakin jadi keharusan. Mereka tak malu-malu lagi mengenakannya, apalagi menganggap tabu. "Betapapun kejantanan bisa disimbolkan dengan wangi-wangian," simpul Estee sambil mengoreksi tesis masa lalunya bahwa ia menang berjualan parfum karena ia perempuan.
... bersambung ...