Intisari-Online.com – Tidak keren kalau tidak ikut tren. Tren telepon seluler adalah salah satu contohnya. Produsen ponsel saat ini hampir selalu mengeluarkan model ponsel baru setiap caturwulan, dengan teknologi baru. Perkembangan serupa juga terjadi pada komputer, konsol video game bahkan televisi. Maka, tak mengherankan banyak orang yang bertanti ponsel atau laptop setidaknya setahun sekali.
Sebagian barang elektronik bekas yang masih berfungsi baik bisa dijual kembali. Tapi barang elektronik yang sudah rusak atau yang sengaja dibuang oleh pemiliknya hanya akan menjadi sampah elektonik.
Sama seperti sampah biasa, mengelola sampah elektronik harus diperhatikan agar tidak menimbulkan masalah bagi lingkungan. Karena beberapa komponen barang elektronik bekas mengandung bahan berbahay dan beracun (B3). Contohnya circuit board komputer yang mengandung beberapa macam logam berat seperti timah, krom, besi, timbal, perak, dan tembaga.
Begitu pun CRT, komponen yang ada dalam televisi dan monitor komputer bekas, mengandung logam berbahaya seperti timah, kadmium, dan merkuri. Jika tak ditangani dengan benar, bahan-bahan B3 ini bisa menjadi polutan yang berbahaya bagi air, tanah, udara, dan kesehatan orang-orang yang bekerja atau tinggal di sekitar sampah elektronik itu.
United Nations Environment Programme (UNEP) meramalkan di tahun 2020 nanti, sampah elektronik di Afrika Selatan dan Cina jumlahnya akan melonjak hingga 200% sampai 400% dibandingkan tahun 2007. Bahkan UNEP meramalkan kenaikan jumlah sampah elektronik di India bisa mencapai 500% tahun 2020 nanti.
Amerika Serikat saat ini menjadi negara dengan produksi sampah elektronik terbanyak, yaitu sebesar 3 juta ton per tahun. Diperkirakan hanya 15 – 20% dari sampah elektronik tersebut yang bisa didaur ulang atau digunakan kembali.
(Baca juga: Mencegah bertumpuknya sampah elektronik)
Sebagian sampah elektronik yang diproduksi negara-negara maju termasuk Amerika Serikat ada yang diekspor sebagai komoditas ke negara-negara berkembang seperti Cina, Malaysia, India, Kenya, dan juga Indonesia. Batam adalah salah satu lokasi utama penjualan limbah atau barang elektronik bekas di Indonesia terutama untuk produk telepon selular dan laptop bekas. Barang elektronik rusak juga ada yang diekspor untuk diambil komponennya yang masih berfungsi baik dan bisa dijadikan bahan baku atau suku cadang.
Padahal pada Konvensi Basel, Maret 1994, 170 negara termasuk Indonesia telah sepakat untuk melarang ekspor limbah B3 dari negara-negara Industri ke negara berkembang, namun kenyataannya hal ini masih berlangsung secara ilegal hingga kini. Beberapa daerah bahkan menjadi tempat penimbunan sampah elektronik dari pelbagai negara seperti Guiyu di Cina, Delhi serta Bangalore di India dan Agbogboshie di Ghana, Afrika. Ribuan orang dewasa dan anak-anak bekerja mengolah sampah elektronik ini secara tradisional tanpa sadar bahaya kesehatan yang menghantui mereka.
Salah satu perusahaan elektronik yang cukup bertanggung jawab dalam mengolah sampah elektronik adalah Panasonic. Panasonic mendirikan Panasonic Eco Technology Center (Petec) di Kato City, Osaka, Jepang. Petec adalah pusat daur ulang limbah elektronik yang ada dalam area seluas 38.570 m2 dan beroperasi sejak 2001. Meski tetap mendapat dukungan dana dari Panasonic, Petec juga memperoleh keuntungan dari penjualan produk daur ulang dan ongkos daur ulang yang dibebankan kepada pemilik rongsokan barang elektronik.
Di Indonesia sendiri, meski sudah ada UU Nomor 18 tahun 2008 pasal 15 dan pasal 23 yang mengatur tentang pengelolaan sampah elektronik dan sejenisnya, namun pelaksanaan belum terlihat berjalan. Selain menjual rongsokan elektronik ke tukang loak, kita tak punya pilihan lain selain membuangnya ke tempat sampah. Untuk memperlambat peningkatan jumlah sampah elektronik setidaknya di Indonesia, mungkin ada baiknya kalau kita tak perlu sering-sering berganti ponsel, komputer ataupun barang elektronik lain. (Novani Nugrahani – Intisari)
Baca juga: Mewaspadai bahaya sampah elektronik.