Intisari-Online.com — Saat orang lain melakukan kesalahan pada kita, umumnya ada dua hal yang terjadi dalam diri. Pertama, ada perasaan marah, kesal, kecewa, benci, dan merasa tersakiti. Kedua, ada pikiran buruk dalam diri kita untuk membalas dendam.
Kita juga berharap agar sesuatu buruk terjadi padanya atau setidaknya perlakuan yang diperbuatnya pada kita juga dialami olehnya suatu saat nanti. Itulah tandanya kita belum mengakhiri amarah dan dendam.
Psikolog Klinis Dewasa, Aditya Ignatia, M.Psi, di Jakarta, menyatakan bahwa seseorang yang belum memaafkan cenderung memiliki perilaku baru yang berasal dari konflik masa lalu yang belum diselesaikan.
Dalam psikologi, hal ini dinamakan unfinished business. Semakin lama kondisi ini dibiarkan, semakin sulit pula penanganannya. Karena orang itu tidak hanya harus disembuhkan sakit hatinya, tapi juga karakter dan perilaku baru yang terbentuk karena luka batin yang tidak diobati.
Sama seperti mengobati luka fisik, kita tidak boleh malas mengurus soal luka hati. Jangan terlalu naif dengan menganggap bahwa luka karena kesalahan orang lain bisa sembuh seiring waktu berlalu.
Waktu tidak menyembuhkan luka dalam batin, justru waktu bisa menginfeksi luka itu sehingga sakitnya makin parah. Yang paling tepat, kita memang membutuhkan waktu untuk berproses dalam memberikan maaf dan memulihkan diri.
Banyak juga orang yang membuat penekanan pribadi bahwa ‘saya tidak bisa memaafkannya’. Tapi persoalannya bukanlah ‘tidak bisa’ tapi ‘tidak mau’. Perlu kita pahami bersama bahwa memaafkan bukanlah sebuah kemampuan, tapi kemauan dan pilihan. Kitalah yang memilih apakah kita mau membebaskan diri dari sakit hati atau tidak. Kitalah yang memilih, apakah kita mau melepaskan maaf atau tidak.
“Seseorang bisa dikatakan tuntas memaafkan bila ia telah mengalami perubahan emosi dan perilaku. Yang tadinya marah berubah menjadi tidak marah, yang tadinya kecewa berubah menjadi tidak kecewa lagi,” tutur Aditya.
Selamat Idulfitri, Sahabat Intisari. Selamat memberi maaf seluas-luasnya.