Menjadi Kuat dengan Tulus Memaafkan di Hari Nan Fitri

Tika Anggreni Purba

Editor

Menjadi Kuat dengan Tulus Memaafkan di Hari Nan Fitri
Menjadi Kuat dengan Tulus Memaafkan di Hari Nan Fitri

Intisari-Online.com —Memang betul, memaafkan tidak semudah mengucapkannya. Sebab bukanlah hal yang sepele untuk memaafkan orang yang bersalah pada kita. Apalagi jenis kesalahan itu meninggalkan luka karena dikhianati, dihakimi, disakiti, dan dihina.

Bahkan banyak orang yang menanggapi kesalahan orang lain sampai-sampai tak ingin bertemu orang itu lagi. Katanya, jangankan bertemu dengan orangnya, mengingatnya saja sudah bikin darah mendidih.

Tapi apakah sejatinya memaafkan sesulit itu? Jangan-jangan kita sedang terjebak dalam emosi dan perasaan yang tersakiti. Orang yang tersakiti biasanya menjadi sulit untuk memaafkan karena ia ingin orang itu tahu bahwa perbuatannya itu telah melukai hatinya.

Rasa sakit hati kadang-kadang menimbulkan rasa mengasihani diri sendiri sebagai korban. Sehingga kita berpikir bahwa tidak memaafkan orang yang bersalah adalah cara paling tepat untuk menghukum orang itu.

Hal ini akhirnya membuat kerelaan hati untuk memaafkan sudah tertimbun jauh di atas tumpukan kesalahan tersebut. Belum lagi jika timbunan itu dipupuki dengan kebencian. Maka kata maaf seolah tak pernah ada dalam kamus.

Pertama-tama, mungkin kita perlu membuka mata untuk menyadari bahwa kita tidak sedang tinggal di nirwana, tapi di bumi. Makhluk hidup yang berada di sekitar kita bukanlah sekumpulan manusia suci yang bebas dari kelemahan dan kesalahan.

Bukan maksudnya melemahkan harkat manusia, namun faktanya memang begitu. Kita semua, tanpa terkecuali, pasti pernah melakukan penyelewengan. Apakah itu penyelewengan etika, moral, norma sosial, dan nilai-nilai religi.

Lantas, apakah dengan memahami natur manusia yang tak lepas dari kesalahan itu, kita justru bebas berbuat salah, meminta maaf, dan juga memberi maaf? Tentu saja tidak! Di sini konteksnya bukan soal kompromi akan kesalahan, tapi agar kita mengingat bahwa di dunia ini, manusia masih punya potensi untuk khilaf dan berbuat salah. Dan jangan lupa, kita juga termasuk dalam hitungan.

Kadang-kadang pergesekan antarkarakter itu menghasilkan konflik yang merembet ke mana-mana. Bisa jadi kemudian konflik itu membuahkan hati yang terluka, dendam yang membara, dan kebencian yang sulit diredam.

Duh, sebenarnya kalau dipikir-pikir, tidak ada hal positif dari menyimpan kesalahan orang lain. Tapi, mengapa ya, banyak dari kita yang lebih suka tenggelam dalam rasa enggan memaafkan?

Kita semua pasti pernah terluka secara fisik. Entah itu luka kecil karena tersayat pisau hingga luka serius karena sebuah kecelakaan. Apa yang kita rasakan? Ya, jawabannya adalah rasa sakit. Apa yang biasanya kita lakukan untuk menyembuhkan rasa sakit itu? Betul sekali, jawabannya adalah memberinya obat.

Lalu bagaimana dengan kondisi sakit hati karena perasaan dan harga diri yang terluka, mengapa kita tidak spontan mencari obatnya? Bahkan ada juga orang yang cenderung membiarkan rasa sakit hati itu dalam dirinya.

Sadar atau tidak sadar, ‘amarah’, ‘kebencian’, ‘dendam’, ‘sakit hati’, dan saudara-saudaranya itu menunjukkan bahwa kita sedang mengidap penyakit serius, namanya adalah penyakit enggan memaafkan. Bukankah penyakit ini juga sangat urgen untuk diobati? Yuk, tunggu apa lagi. Lepaskan diri dari sakit hati dengan memaafkan. Selamat Idulfitri, sahabat Intisari...