Aktivitas senat berskala universitas itu tak disangka-sangka pada akhirnya menjadi embrio kegiatan advokasi Munir yang kelak memuai sampai ke lain benua.
Sejak KontraS berdiri, Umi mu-lai merasa resah sehingga berulang kali meminta Munir untuk mundur dan bekerja di Malang.
Munir hanya menjawab, “Enggak ada apa-apa, kok. Aman.”
Ditemani oleh Anisa yang membantunya mengupas detail setiap peristiwa yang dikisahkannya, Umi bertutur,” Saya enggak pernah berharap Munir jadi orang kaya, kerja, keliling-keliling dunia. Enggak pernah itu. Umi hanya ingin ia besar lalu bekerja, enggak tahu mau jadi apa, tapi enggak angan-angan itu, dia jadi aktivis. Enggak terbayang,” ungkapnya.
Keinginan Umi yang sederhana itu sayangnya tak terwujud. Men-cintai keadilan di negara tiran dan korup tak pernah menyisakan ki-sah yang sederhana.
Kekerasan kerap mengikuti perbedaan-perbe-daan yang terbentang antara Munir dengan pihak-pihak yang bersebe-rangan dengannya.
Karena Munir pantang mundur, ia pun lantas merasakan betul bahwa kekerasan adalah suatu hal yang amat menya-kitkan.
Jamal bertutur bahwa rasa sakit inilah yang membuat Munir tak pernah bercerita sedikitpun tentang teror yang ia terima.
”Dia selalu enggak cerita tentang teror karena (terasa) sakit,” tuturnya. ”Karena kalo dia cerita, dia meng-ulang memorinya untuk sakit lagi.”
Rasa sakit ini menemui wujudnya yang paripurna pada 7 September 2004. Munir dipaksa untuk menu-tup jalan hidupnya dengan cara yang amat tragis.
Arsenik yang mampu membunuh tiga nyawa sekaligus membuat Munir menahan nyeri tak terkira hingga terkena diare serta muntah-muntah sebanyak enam kali. Ia akhirnya meregang nyawa di tengah dinginnya kabin pesawat pada ketinggian 40 ribu kaki di atas dataran Hungaria.
Indonesia pun gempar. Kita terkejut. Namun hidup memang hanya sebuah kesementaraan. Dulu ba-nyak yang marah mengapa Munir berlalu demikian cepat tapi bagai-manapun kisah seorang Munir sudah selesai.
Kisah kita yang belum usai. Mungkin giliran kita yang harus jadi Munir di area kita masing-masing. Ketidakadilan hidup di semua aspek. Tak usah membela-lakkan mata dan berpikir bahwa ketidakadilan hanya ada di pang-gung politik. Hari demi hari, cer-mati saja, kita semua bisa jadi adalah korban merangkap pelaku ketidakdilan, bukankah demikian? Selama bola bumi masih berputar, selama itu juga dunia butuh orang yang mau menjadi voice of the voiceless.
Ia hanya manusia biasa. Sama seperti kita. Jika dia bisa berjuang di tengah era yang demikian represif, apalagi kita yang kini hidup di alam demokrasi seperti sekarang? Jika dia bisa begitu gilanya mencintai sesama di tengah situasi yang demikian mencekam, apalagi kita yang sekarang berkiprah di dunia yang begini bebas.
(Penulis: Meicky Shoreamanis Pangabean, tulisan ini disarikan dari buku Keberanian Bernama Munir: Mengenal Sisi-Sisi Personal Munir)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR