Namun jika definisi keren mengacu pada nilai-nilai di zaman modern yang sangat kon-sumtif, yaitu punya materi melim-pah, jelas sekali Munir enggak ada keren-kerennya sedikit pun.
Ia di-kenal terbiasa pakai barang murah. Walau terkadang punya rezeki berlebih, ia tetap saja tak foya-foya.
Hal itu rupanya berakar pada sebuah peristiwa yang ia alami saat duduk di kelas 4 SD.
Ketika itu, ia melihat beberapa mobil diparkir di tepi jalan. Didorong rasa kagum sekaligus iseng, ia mengusap-usap badan mobil tersebut. Ayahnya mendadak ngamuk.
“....Aku enggak tau kalo di seberang jalan ternyata ada Bapakku, ngamuknya minta ampun.. dianggap mengagumi kemewahan, kekayaan, menghina.
”Kau sudah tidak menghargai aku sebagai orangtua tapi kau lebih menghargai orang karena barangnya!!!”
Anak kecil dibegitukan, wah itu marahnya keras dan itu memperngaruhi cara berpikir. Nilai itu masuk... Enggak berani aku mengagumi, waduhh... itu mewah... waduh, enggak berani. Ngomong, megang, enggak berani. Selesai”.
Umi yang tenang tapi deg-degan
Didikan yang diterima Munir memang keras. Ibunya kerap me-mukul pantat anak-anaknya saat mereka bersalah.
Namun, rasa hormat di hati Munir bersaudara terhadap orangtua tak pernah hilang.
Umi bercerita bahwa saat anaknya yang tinggal di tengah kota akan pergi ke luar kota, mereka akan datang lebih dahulu ke rumah Umi yang terletak di pinggir kota untuk sekadar pamitan.
Dalam sebuah wawancara di Malang, Umi yang kini sudah tak ada, mengungkapkan, di balik ketenangannya tetap saja merasa deg-degan melihat kiprah Munir di KontraS.
Namun bagaimanapun, Umi dan Anisa, adik Munir, mendukung apa yang ia lakukan. “…tapi kadang megingatkan, bukan protes, karena tahu bahwa Munir tidak bisa dilarang. Tapi ya memang enggak mau melarang karena senang punya saudara peduli pada sesama. Tapi kalo bahaya ya takut juga,” ungkap Anisa.
Wajar jika keluarga takut mengingat bahwa tak seorang pun me-nyangka bahwa Munir akan berge-lut secara intens di dunia pergerakan yang mengancam nyawa.
Mereka pada awalnya berpikir bahwa apa yang dilakukan Munir hanyalah kegiatan biasa seorang mahasiswa.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR