Ia menuturkan bahwa tiap pagi selalu pria kelahiran Malang ini memberinya kecupan dan mengatakan, “Aku cinta padamu”.
Saat merayakan ulang tahun pernikahan, Munir juga mengajaknya jalan berdua seperti orang pacaran.
Berantem profesional
“Cinta adalah apa yang tersisa setelah api jatuh cinta padam,” begitu kata pepatah. Cinta dan romance adalah dua hal yang kerap berbeda dan Munir serta Suciwati mengerti bahwa cinta bukanlah rasa meletup-letup ala film Hollywood.
Cinta bagi mereka bukan hanya kegiatan fisik dua manusia. Cinta punya implikasi luas: membangun masyarakat. Memperkuat bangsa. Berbakti pada Tuhan melalui pengabdian untuk sesama.
Kecintaan Munir terhadap keadilan dan kemanusiaan bisa kita telusuri lewat kehidupan Ibu Jamilah atau Umi, begitu beliau biasa dipanggil.
Beliau terkesan intelek walau tak pernah mengecap pendidikan formal sedikitpun.
Perempuan tangguh ini berhasil mendidik - bukan hanya “membesarkan” - tujuh anak, seorang diri.
Waktu Munir berusia 11 tahun, sebuah dokar yang ditarik sapi menabrak mobil yang ditumpangi ayahnya.
Setelah seminggu dirawat di rumah sakit, Abah, begitu beliau biasa dipanggil, akhirnya menghembuskan napas terakhir.
Umi lantas -membahu dengan anak-anaknya menjaga toko sepatu milik keluarga. Munir kecil belajar melayani pembeli.
Tawar-menawar harga lantas menjadi bagian inte-gral dari kesehariannya.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR