Melihat Cara Unik Masyarakat Sulawesi Tenggara Mengusir Setan

Moh Habib Asyhad

Editor

Melihat Cara Unik Masyarakat Sulawesi Tenggara Mengusir Setan
Melihat Cara Unik Masyarakat Sulawesi Tenggara Mengusir Setan

Intisari-Online.com -Tiap-tiap daerah punya cara uniknya masing-masing untuk mengusir setan, termasuk masyarakat Sulawesi Tenggara. Di sini, mengusir setan dilakukan oleh anak-anak berusia sektiar lima tahun dengan cara ramai-ramai melempari sebuah kecil yang berada di dekat permukiman mereka.

Ketika gubuk yang menerima gemburan batu berbagai ukuran itu roboh dan hancur, itu tandanya setan dianggap telah pergi.

Di sisi lain, beberapa warga yang menyaksikan peristiwa tersebut terlihat memberikan semangat kepada ratusan anak kecil yang tidak semua lemparannya mengenai sasaran itu. “Ini merupakan salah satu rangkaian adat dari sunatan massal tradisional, namanya pihalacia. Itu gubuk dilempari seakan-akan untuk mengusir setan,” kata Ketua Adat Kelurahan Bugi, Kecamatan Sorawolio, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, Djunudin, Kamis (15/9).

Sunatan massal telah dilakukan sejak beberapa hari ini diikuti sekitar 223 anak laki-laki dan perempuan. Beberapa hari sebelumnya, anak perempuan yang ikut sunatan massal didandani dengan make up dan menggunakan baju adat buton. Mereka kemudian digendong oleh kerabatnya laki-laki dewasa.

Anak-anak yang disunat tersebut mendatangi baruga atau tempat adat yang berada di tengah pemukiman warga Kelurahan Bugi. Anak laki-laki yang disunat, membelakangi baruga dan dijaga beberapa laki-laki dewasa sambil memegang balok panjang. Balok kayu tersebut ditegakan di depan, seakan-akan menjadi tameng.

“Ini namanya posemba, jadi anak perempuan yang disunat dipikul kemudian mengelilingi baruga sebanyak empat kali. Nah sambil mengelilingi, orang yang pikul tadi menendang betis orang yang jaga anak laki-laki yang disunat itu,” ujarnya.

Menurut Djunudin, sunatan massal tersebut dilakukan setiap tujuh tahun sekali oleh anak-anak yang ada di Kelurahan Bugi. Bukan hanya itu saja, orang yang berada di perantauan juga pulang kampung untuk mengikuti kegiatan tersebut.

“Anak yang memutar baruga tersebut juga mengandung empat makna, Ini sudah tradisi yang kami lakukan sejak nenek moyang kami,” ucap lelaki tua ini.(Kompas.com)