Advertorial

Dulu Banyak Pekerjaan yang Hanya ‘Diperuntukkan’ Untuk Kaum Pria, Kini Situasinya Berbeda, Tapi…

K. Tatik Wardayati
Mentari DP

Tim Redaksi

Kekenesan wanita karier di Indonesia yang enggan disebut pekerja. Tetapi wanitalah yang tak cemas akan perubahan yang terjadi di kota besar.
Kekenesan wanita karier di Indonesia yang enggan disebut pekerja. Tetapi wanitalah yang tak cemas akan perubahan yang terjadi di kota besar.

Intisari-Online.com – Dari ruang praktik rekruitmen, saya mengamati perubahan yang sangat menarik dalam 25 tahun terakhir ini.

Di awal 1980-an, dari 10 jenis pekerjaan, 6-7 pekerjaan di antaranya "diperuntukkan" kaum pria. Saat itu, sepertinya tak ada celah untuk wanita.

Beragam pekerjaan mulai reporter, insinyur sipil, juru kamera, penambang, sampai petugas keamanan, semua diprioritaskan untuk diisi laki-laki.

Termasuk posisi struktural, semisal kepala cabang, pengawas lapangan, direktur, dan sejenisnya.

Memang ada pekerjaan yang dikenal sebagai profesi "khas" kaum hawa, seperti sekretaris, perawat, kasir, tapi porsinya masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan profesi yang "otomatis" menjadi jatah laki-laki.

Baca juga: Sungguh Mulia, Wanita Ini Meminjamkan Rahimnya Agar Adiknya Bisa Punya Anak

Padahal, di masa itu juga, dari 10 calon karyawan yang datang melamar untuk posisi tertentu, bisa terdapat enam wanita, dibandingkan dengan hanya tiga atau empat saja pria yang kompeten dan dianggap mampu mendudukinya.

Pria terkesan asal melamar, sedangkan wanita lebih hati-hati, dengan persiapan yang jauh lebih matang.

Bahwa ujung-ujungnya lebih banyak pria yang diterima, biasanya lebih karena mitos, bahwa pria lebih anu, anu, dan anu ketimbang wanita.

Demikian juga dalam menentukan calon pemimpin, mulai dari unit terkecil sampai kandidat tingkat direksi.

Kalau dari pertimbangan kemampuan dan kompelensi semata, lebih mudah menemukan kandidat wanita.

Sekali lagi, kalau semata pertimbangan kompetensi yang obyektif. Toh biasanya, lagi-lagi wanita tak dipilih, lantaran pertimbangan itu tadi: pria lebih pas, tanpa menyebutkan alasan jelas.

Baca juga: Kisah Wanita yang 'Keukeuh' Jaga Keperawanannya Sampai Menikah, Meskipun Telah 5 Tahun Berpacaran dengan Pasangannya

Tapi kini situasinya berbeda.

Bukan saja semakin banyak lapangan kerja baru yang berkembang, tetapi juga makin bergugurannya mitos bahwa pekerjaan ini dan itu adalah dominasi pria.

Kenyataan menunjukkan, pekerjaan yang selama ini berselimut mitos itu, setelah coba dilakukan perempuan, hasilnya malah lebih baik.

Profesi credit analyst yang sebelumnya menjadi porsi pria, mampu dijalani wanita dengan jauh lebih teliti. Seolah mereka memiliki indera keenam.

Juru warta dan juru kamera wanita juga bisa menampilkan kedalaman yang kerap luput dan mata pria. Begitu pun jabatan struktural, direktur contohnya, terbukti tidak kurang kinerjanya di tangan wanita.

Singkat kata, era yang disebut Alvin Toffler sebagai era informasi ini sebenarnya era cakrawala bagi wanita.

Terbuka peluang luas untuk mengaktualisasikan apa saja, di mana saja.

Tetapi mengapa wanita Indonesia sendiri kelihatannya belum siap menghadapi anugerah milenium ini?

Saya khawatir wanita Indonesia masih terjangkar pada (maaf beribu maaf) kekenesan yang akarnya kurang percaya diri.

Baca juga: Sadis! Terobsesi pada Game, Bocah 15 Tahun Ini Lakukan Pembunuhan Brutal kepada Seorang Wanita Muda

Setelah puluhan kali merayakan Han Kartini, kok masih ada seminar "Peran Ganda Wanita".

Atau gambaran anak TK pakai baju dokter dan baju insinyur untuk memperlihatkan: wanita Indonesia juga bisa jadi dokter atau insinyur.

Juga kekenesan banyak wanita karier yang enggan disebut pekerja.

Seolah yang namanya pekerja – seperti puluhan buruh linting atau ribuan lagi di pabrik-pabrik di Cikarang - tidak memiliki visi karier dalam bekerja.

Benar, mereka kurang tahu cara menggunakan blazer yang pas, cara menjamu tamu yang sesuai buku table manner jilid 2 halaman 13.

Tapi merekalah yang terbukti tidak larut dalam industri kecemasan yang melanda kola besar, cemas akan perubahan.

Itu sebabnya, banyak (wanita) kita siap berbuat apa saja, asal terhindar dari kecemasan yang sering ia ciptakan sendiri.

Tetapi mereka lupa mengamati, apalagi mensyukuri cakrawala baru.

Sungguh sayang, sayang sekali.

(Ditulis oleh Sartono Mukadis. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi April 2006)

Baca juga: 5 Wanita Ini Menyamar Jadi Pria Demi Bisa Nonton Pertandingan Bola, Begini Cerita Heroiknya

Artikel Terkait