Intisari-Online.com – Tulisan yang menginspirasi ini, pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 2015, dengan judul yang sama, Kepompong untuk Anak-anak Buruh Migran, yang ditulis oleh Ujang Sarwono. Semoga tulisan ini bisa menginspirasi kita. Selamat menikmati.
--
Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. Barangkali itulah padanan yang sesuai untuk menggambarkan ketulusan pasangan suami-istri asal Desa Ledokombo, Kecamatan Ledokombo, 25 km dari pusat kota Jember dalam mendampingi anak-anak yang oleh Unicef disebut sebagai Children Left Behind.
Lebih dari sepuluh tahun Dr. Ir. Suporahardjo, M.Si. dan istrinya, Dra. Farha Abdul Kadir Assegaf, M.Si.,tinggal di Jakarta. Tahun 2009. Tahun 2009 mereka memutuskan meninggalkan gemerlap ibu kota untuk kembali ke kampung halaman di Jember, Jawa Timur. Sebuah kota kecil yang dikenal sebagai salah satu penghasil tembakau terbesar di Indonesia.
Namun, siapa sangka keputusan untuk kembali ke kampung halaman tersebut menjadi awal pasangan suam istri ini mengabdikan diri pada anak-anak buruh migran. Bersama anak-anak setempat, mereka mendirikan komunitas bermain dan belajar bernama Tanoker yang dalam bahasa Madura berarti Kepompong.
Melalui komunitas inilah desa yang awalnya marjinal menjadi terkenal hingga taraf internasional. Tahun 2010 tampil dalam acara Youth Preneruship Summit tingkat Asia (Ashoka) di Jakarta. Setelah itu, tahun 2011 Komunitas Tanoker menari dan menyanyi di Youth Cultural Night Konferensi Asia Pasifik tentang reproduksi di Yogyakarta. Bukan hanya itu, Tanoker pernah diundang pada perayaan Hari Anak Internasional di Jakarta pada November 2011. Prestasi bergengsi juga pernah diraih saat diundang ke Thailand dalam acara International Congress on Aids in Asia Pacific (ICAAP) pada tahun 2013.
Saat itu anak-anak Tanoker berkolaborasi bersama pemusik dan penari dari berbagai negara antara lain, Thailand, Jepang, Australia, Malaysia, Cina, dan Bangladesh.
Bermula dari egrang
Tanoker berawal dari sebuah hal sederhana. Saat itu Lek Hang, panggilan akrab Suporahardjo yang baru seminggu berada di Jember mendapat pertanyaan dari kedua anaknya. Anak Lek Hang bertanya tentang permainan masa kecil bapaknya.
“Bapak dulu sering bermain egrang saat musim hujan untuk menghindari tanah yang becek,” jawab Lek Hang saat itu. Sontak, saat itu juga anak Lek Hang minta dibuatkan egrang.
Sejak saat itu, peraih gelar doktor dari Universitas Indonesia itu menjadi sering bermain egrang di halaman rumah yang cukup luas. Siapa sangka jika permainan tradisional tersebut menarik perhatian anak-anak di sekitar Desa Ledokombo. Hampir setiap sore selalu ada anak-anak yang datang ke rumah Lek Hang untuk bermain egrang.
Dari permainan egrang itu, anak-anak diajarkan tentang nilai-nilai kehidupan. “Melalui egrang kita mengajarkan bahwa hidup itu tidak mudah. Diperlukan perjuangan yang luar biasa. Egrang juga berarti keseimbangan,” tutur Farha Ciciek, panggilan Farha Abdul Kadir Assegaf.
Saat ini permainan egrang sudah banyak dimodifikasi. Sebagai contoh, pernah diadakan lomba pidato di atas egrang. Egrang juga telah diinovasi menjadi sebuah tarian. Berbagai gerakan tarian egrang telah dibuat oleh anak-anak yang kemudian membentuk Komunitas Tanoker sejak 10 Desember 2009 silam.
Tarian egrang dari Komunitas Tanoker pernah mencapai prestasi luar biasa saat berkolaborasi dengan beberapa negara seperti Thailand, Bangladesh, dan Cina. Selain itu, berkat kesungguhan melestarikan egrang telah berlangsung festival egrang setiap tahun mulai tahun 2010. Pada bulan Desember 2015 nanti merupakan festival egrang keenam yang akan digelar oleh Komunitas Tanoker.
Minggu Ceria
Bagi anak-anak Komunitas Tanoker, Lek Hang dan istrinya bisa mengisi kekosongan kasih sayang dan perhatian dari orangtua mereka yang pergi ke luar negeri menjadi TKI hingga bertahan-tahun. Banyak dari anak-anak ini putus sekolah. Lebih mengenaskan lagi, ada yang terjerumus dalam penggunaan obat-obat terlarang.
Ada pengalaman tak terlupakan yang dialami Farha Ciciek - berkaitan anak buruh migran ini. Ia menceritakan, ada seorang anak kelas IV SD yang harus mengasuh tiga adiknya. Mereka tinggal bersama neneknya yang juga setiap hari sibuk bekerja.
“Kejadian itu mendorong saya untuk melakukan tindakan nyata bagi mereka,” tutur perempuan yang pernah terpilih menjadi satu dari 1.000 Peace Wowan 2005 sekaligus dinominasikan menerima hadiah Nobel Perdamaian. Melalui berbagai aktivitas, Farha Ciciek dan suami berusaha agar anak-anak di sekitar kampungnya tetap mendapat hak bermain dan belajar.
Anak-anak diberikan fasilitas bermain, belajar, dan berkarya. Selain halaman untuk bermain egrang yang sangat luas, Komunitas Tanoker juga memiliki lahan seluas 4.000 meter persegi yang bisa digunakan untuk outbond. Bukan hanya itu, Tanoker juga memiliki kolam lumpur yang dapat digunakan untuk area bermain. Perpustakaan juga disediakan di Tanoker. Ada pula kebun untuk belajar tentang pertanian.
Setiap Minggu dilaksanakan acara Minggu Ceria. Anak-anak mendapatkan bimbingan belajar gratis. Mulai dari belajar Matematika, bahasa Inggris, dan fotografi. Juga membatik dan melukis. Selain senam pagi, ada pula kegiatan lain seperti bermain perkusi, gamelan, angklung, dan tentu saja bermain egrang.
Semua kegiatan yang dilaksanakan sejalan dengan semboyan Komunitas Tanoker yakni “bersahabat, bergembira, belajar, dan berkarya.” Dari sekian banyak kegiatan, egrang menjadi yang utama di Komunitas Tanoker.
- bersambung -