Kepompong untuk Anak-anak Buruh Migran (2)

K. Tatik Wardayati

Editor

Kepompong untuk Anak-anak Buruh Migran (2)
Kepompong untuk Anak-anak Buruh Migran (2)

Intisari-Online.com – Tulisan yang menginspirasi ini, pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 2015, dengan judul yang sama, Kepompong untuk Anak-anak Buruh Migran, yang ditulis oleh Ujang Sarwono. Semoga tulisan ini bisa menginspirasi kita. Selamat menikmati.

--

Bukan hanya Lek Hang dan Farha Ciciek saja yang memberikan pendampingan kepada anak-anak setiap hari Minggu. Beberapa mahasiswa dari universitas yang ada di Kota Jember juga sering terlibat dalam kegiatan rutin tersebut. Seperti yang dilakukan sekelompok mahasiswa dari Universitas Jember. Mereka melakukan pendampingan dengan mengajarkan bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dan bahasa Arab.

Setelah melakukan kegiatan pendampingan, banyak dari mahasiswa merasa ketagihan untuk melaksanakan pendampingan. Mereka merasa senang dapat berbagi ilmu dan pengalaman kepada anak-anak yang kurang mendapatkan perhatian ini. “Saya merasa senang dapat berbagi ilmu dengan anak-anak di Tanoker,” ungkap Mohammad Ari Widianto, mahasiswa Universitas Jember Jurusan Teknik Sipil.

Selain hari Minggu, Tanoker juga ramai setiap harinya. Setiap sore tidak kurang dari 10 sampai 15 anak-anak datang ke Tanoker untuk bermain apa saja yang mereka inginkan. Mereka bermain egrang, gobak sodor, bakiak, atau sekadar mengerjakan PR bersama relawan Komunitas Tanoker. Selain itu, Komunitas Tanoker juga melakukan pendampingan terhadap ibu rumah tangga untuk membuat kerajinan tangan. Pendampingan pertanian organik juga diajarkan di sini.

Jangan marjinalkan desa

Ada beberapa alasan Farha Ciciek mendukung pilihan hidup Suporahardjo untuk mengabdikan diri pada anak-anak buruh migran di kampungnya. Latar belakang Farha Ciciek sebagai mantan dosen dan aktivis perempuan misalnya. Begitu juga dengan pengalaman tinggal di Jakarta yang cukup lama dan kiprahnya di berbagai organisasi membuat Lek Hang dan Farha Ciciek memiliki banyak relasi. Salah satunya yakni ketika Tanoker kedatangan tamu dari Negeri Sakura, Jepang. Mereka bermain, bernyanyi, dan belajar bersama anak-anak yang ada di Komunitas Tanoker. “Saat itu anak-anak diajari memasak dan origami,” ujar Lek Hang.

Melalui kegiatan bersama tamu dari Negeri Sakura, Lek Hang ingin mengajarkan bahasa Jepang kepada anak-anak Tanoker. Mereka diajak bernyanyi lagu anak-anak menggunakan bahasa Jepang. Menurut cerita Lek Hang, tamu dari Negeri Sakura tersebut merasa kagum karena anak-anak dari Tanoker bisa menyanyikan lagu berbahasa Jepang. Melalui Tanoker Lek Hang dan istri ingin menanamkan banyak hal kepada anak-anak. Salah satunya toleransi. Mereka ingin Tanoker tumbuh menjadi Kawasan untuk Semua (semua suku, agama, bangsa, dan budaya) tanpa membeda-bedakan.

Menurut Farha Ciciek dan Lek Hang, setiap desa di Indonesia harus memunculkan potensi masing-masing. Desa merupakan sesuatu yang penuh berkah. Jangan sampai memandang dengan sebelah mata. Segala kegiatan sosial dan ekonomi harus berawal dari desa. Secara khusus Farha Ciciek menyoroti daerah yang sebagian besar masyarakatnya mencari nafkah di luar negeri dengan menjadi TKI.

“Jangan sampai kita menghina desa. Jangan sampai desa-desa justru dimarjinalkan sehingga sulit untuk berkembang. Perubahan dimulai dari hal yang sederhana,” ujar Farha Ciciek.

Siapa Saja Boleh Mengisi Kegiatan

Bukan hanya mahasiswa, siapa pun pada dasarnya boleh mengisi kegiatan pada “Minggu Ceria”. “Kami selalu terbuka kepada siapa saja yang ingin bekerja sama,” ungkap Farha Ciciek yang juga hobi menyanyi.

Seperti yang dilakukan oleh sekelompok pelajar dari SMA Katolik Santo Paulus Jember pada akhir September lalu. Dalam rangka memperingati International Day of Peace mereka bekerja sama dengan Komunitas Tanoker mengadakan serangkaian kegiatan. Mulai dari menggambar, kuis, hingga bakti sosial. “Melalui kegiatan semacam ini kami berharap murid-murid memahami sekaligus melakukan aksi dalam menyikapi permasalahan-permasalahan sosial di masyarakat,”ungkap Guntur Wijaya, S.H. guru sekaligus pendamping dalam kegiatan tersebut.

Rasa bangga dan haru juga dirasakan langsung oleh murid SMA tersebut setelah melakukan kegiatan bersama. Sebagian besar dari mereka baru menyadari jika ternyata ada permasalahan sosial di sekitar mereka. “Saya merasa bersyukur bisa bertemu, berinteraksi, dan berbagi bersama adik-adik di Tanoker,” ungkap Michelle Gracia Manoppo sambil menahan air mata haru.

Harus Mandiri Tanpa Ke Luar Negeri

Selain sibuk mendampingi anak-anak Tanoker, pasangan suami istri ini juga memiliki aktivitas lain. Farha Ciciek tergabung dalam Aliansi Indonesia Damai (AID), sebuah organisasi yang menjaga terciptanya kerukunan. Lek Hang sendiri juga menjadi konsultan dalam bidang lingkungan hidup. Mereka juga sering diundang sebagai pembicara seminar dalam berbagai acara di Kota Jember. Pasangan suami istri ini juga aktif dalam pendampingan ibu-ibu rumah tangga dalam membuat kerajinan tangan untuk menambah penghasilan.

Permasalahan yang dihadapi Lek Hang dan Farha Ciciek lebih kepada orangtua dari anak-anak di sekitar desanya yang masih menganggap bekerja di luar negeri sebagai satu-satunya jalan pintas untuk mencari penghasilan yang lebih baik. Dampaknya jelas, semakin banyak anak-anak yang terlantar dan menjadi “Yatim Piatu Sosial” atau pada kenyataannya mereka memiliki orangtua tapi jarang bertemu dan mendapatkan kasih sayang.

Solusi yang diambil Farha Ciciek dan Lek Hang adalah dengan mendampingi ibu-ibu rumah tangga di desa-desa terdekat untuk membuat kerajinan untuk menambah penghasilan. Selain itu, melalui beberapa relawan Komunitas Tanoker juga rutin berkeliling di beberapa desa untuk melakukan pendampingan dalam bidang pertanian. Tujuannya agar masyarakat bisa mandiri tanpa harus bekerja di luar negeri. Tercatat ada empat desa yang rutin mendapat pendampingan dari Komunitas Tanoker, yakni Desa Sumber Salak, Desa Sumber Lesung, Desa Sumber Bulus, dan Desa Ledokombo.