Jane Goodall: Simpatinya pada Simpanse (1)

K. Tatik Wardayati

Penulis

Jane Goodall: Simpatinya pada Simpanse (1)
Jane Goodall: Simpatinya pada Simpanse (1)

Intisari-Online.com – Mulanya ia dituduh telah “memanusiakan” simpanse dengan melihat mereka secara individu. Hasil penelitian dan dedikasinya pada simpanse telah melegenda dan menjadi salah satu tonggak dalam dunia penelitian primata. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 1998, yang ditulis oleh Rudy Badil.

---

“Huuuu wa, huhuuu wa," begitu teriakakan panjang Jane Goodall (63), meniru suara panggilan kera simpanse, yang telah menjadi paten pakar perilaku simpanse itu dalam setiap pembukaan dan penutupan ceramahnya. Undangan dan hadirin yang membeli tiket ceramah, biasanya ikut-ikutan menirukan suara pimpinan The Jane Goodall Institute for Wildlife Research, Education, and Conservation di Tucson, Arizona, AS, itu.

"Saya tahu, tak sedikit simpanse menjadi binatang percobaan di berbagai laboratorium biomedis, termasuk di Amerika. Bagi saya, simpanse yang dipelihara di laboratorium itu, nasibnya seperti masuk ke dalam kamp penyiksaan Auschwitz di zaman Nazi Jerman," ujar Jane yang 30 tahun lebih "bergaul" dengan simpanse (bahkan menemukan jodoh pula) di Pusat Penelitian Taman Nasional Gombe, Tanzania, Afrika.

Jane Goodall selama sekian tahun belakangan ini, sedang menghimpun dana untuk menyelamatkan simpanse, dari kandang kolektor atau kerangkeng lab bioriset. Di Afrika, kini paling banyak masih hidup sekitar 250.000 ekor simpanse, termasuk simpanse kerdil. Namun populasinya terus merosot mendekati titik kepunahan,

Dalam kampanyenya, Jane selalu memperjuangkan agar tak ada lagi penangkapan liar simpanse di habitatnya. Sebab simpanse liar tangkapan langsung dari habitatnya, kini menjadi binatang paling favorit untuk "kera percobaan" berbagai penyakit manusia, terutama AIDS, karena kemiripannya dengan bio-anatomi manusia.

Sabar

Jane Goodall, kelahiran London, Inggis, pada 1934, sejak masih gadis langsing cantik, sudah berniat menjadi peneliti binatang, gara-gara sejak kecil sudah terpincut dengan cerita Dr. Doolittle yang hidup di tengah binatang jinak. Bahkan lebih awal lagi dari masa itu, saat ia baru berumur setahun, ibunya membelikan boneka simpanse yang besar dan berbulu. Berlawanan dengan perkiraan kawan-kawan sang ibu, boneka bernama Jubilee itu malah menjadi sahabat kesayangan Jane sampai dewasa.

Jubilee baru awal dari minatnya yang menggebu-gebu pada dunia satwa. Ketika berusia 4 tahun, Jane dilaporkan "hilang" oleh orang tuanya. Siapa mengira, selama lima jam hilang, Jane asyik nonton induk ayam bertelur di kandangnya? Empat tahun kemudian, Jane sudah memutuskan, jika sudah dewasa, ingin hidup di Afrika bersama binatang.

Lulus SMU, ia masuk sekolah sekretaris lalu bekerja. Setelah dua macam pekerjaan, datang ajakan dari seorang kawan untuk menginap di tanah pertanian orang tuanya di Kenya. Tahu ini jalan menuju impiannya, Jane tanpa ragu pindah pekerjaan menjadi pramusaji supaya bisa cepat mengumpulkan uang selama musim panas untuk bekal ke Afrika.

Sekitar sebulan di Kenya, ada yang memberi tahu supaya ia menghubungi Dr. Louis Leakey, kalau memang benar-benar berminat pada hewan. Jane mendatangi Louis Leakey yang ketika itu kurator di Museum of Natural History, Nairobi. Entah Leakey yang punya pengamatan amat tajam, atau Jane yang beruntung, ia langsung diterima sebagai asisten sekretaris.

Di situlah Jane mendapat pelatihan awal dan pengenalan pada dunia hewan. Ia belajar tak hanya dari sesama karyawan yang semuanya pencinta alam, tetapi juga saat mengikuti ekspedisi paleoantropologi Dr. Leakey ke Olduvai Gorge (tempat ditemukannya Zinjanthropus atau Nutcracker Man dan Homo Habilis) di dataran Serengeti, yang saat itu masih daerah terpenciJ.

Di penghujung ekspedisi itulah, pelan-pelan Dr. Leakey mulai ngobrol soal kehidupan simpanse di Danau Tanganyika, khususnya kelompok simpanse yang berbulu panjang, Pantroglodytes schweinfurthi. Leakey berminat meneliti kehidupan simpanse yang berhabitat di tepi danau karena fosil manusia purba sering kali ditemukan di tepi danau. Kalau rahasia perilaku mereka dapat dikuakkan, siapa tahu diperoleh pemahaman lebih dalam mengenai kehidupan manusia purba. Strategi Leakey didukung oleh hasil penelitian bahwa secara fisiologi dan biologi simpanse amat mirip dengan manusia.

Selama ini, tutur Leakey kepada Jane, kera itu baru diteliti Prof. Henry W. Nissen selama 2,5 bulan. "Yayasan saya membutuhkan wanita peneliti karena wanita lebih sabar dan mungkin kurang merupakan ancaman bagi simpanse jantan yang masih liar," kata Leakey. Di samping itu, wanita yang bukan ilmuwan diharapkan belum memiliki bias dan pembatasan-pembatasan dalam pengamatannya.

David dan Goliath

Di tahun 1960, Jane Goodall, yang nihil pengalaman dan tak berbekal ilmu pengetahuan khusus, menerima tawaran itu (Leakey kemudian juga membiayai Dian Fossey meneliti gorila di Rwanda serta Birute Galdikas yang meneliti orangutan di Tanjungputing, Kalimantan Tengah). Jane membangun pos penelitiannya di tepian Sungai Gombe. Atas desakan pemerintah setempat di Kigoma, Jane harus ditemani Vanne Goodall, ibunya.

Baru sekitar tiga bulan setelah mereka terjun di Gombe, setelah Jane dan Vanne sama-sama ambruk karena malaria, Jane berhasil memperoleh kesempatan mengobservasi simpanse secara berarti. Hari itu, seperti biasa Jane berangkat subuh-subuh, ketika udara masih sejuk. La mendaki bukit yang berada pas di atas perkemahan mereka. Dengan bersusah-payah, karena kondisi fisik yang belum kuat, akhirnya ia berhasil mencapai ruang terbuka di ketinggian 300 m kaki dari permukaan danau. Duduk sambil beristirahat, ia mengeluarkan teropong untuk melihat tanda-tanda kehadiran simpanse. Setelah sekitar 15 menit, tampak ada tiga ekor simpanse berdiri memandang dia di kawasan botak bekas kebakaran tak lebih dari 60 m jauhnya dari tempat ia duduk. Mereka pergi menghilang, tanpa ketakutan. Belakangan ketika matahari lebih tinggi, ada dua rombongan simpanse lagi yang datang ke kawasan dekat situ untuk makan buah pohon fig yang memang sedang berbuah lebat. Mereka pun tak kabur ketakutan meski melihat Jane, seperti yang sudah-sudah, ketika Jane masih ditemani seorang atau dua orang pria.

Dalam usaha membuat dirinya diterima oleh mereka, Jane selalu mengenakan setelan baju dan celana pendek berwarna khaki. Untuk tidak membuat mereka takut, Jane berusaha diam tak bergerak, meski sedang diamat-amati oleh simpanse tertentu dari jarak dekat. Sudah tentu ini membutuhkan ketabahan tersendiri, karena menyusul periode "kabur", selama sekitar lima bulan berikutnya, para simpanse memasuki periode agresif terhadapnya.

Bahkan ia pernah dihantam dengan cabang pohon oleh seekor simpanse besar-yang kemudian dia panggil dengan nama Goliath. Jane berhasil menahan dorongan untuk lari, meski mengaku lututnya sampai gemetaran karena ketakutan.

Namun sahabat pertama Jane tak lain adalah David Graybeard, simpanse pertama yang "bertamu" ke tenda Jane, untuk makan buah pohon kelapa yang tumbuh di dekat tendanya. Ia bahkan dengan santainya melongok ke dalam kemah! Dengan David yang digambarkannya. Berperilaku lembut ini Jane sering bepergian bersama. David di depan, Jane terengah-engah di belakang mengikutinya. Ada saat-saat tertentu Jane yakin, David sengaja menantinya. Belakangan Goliath yang ternyata "kepala suku" itu bergabung dengan David untuk makan pisang yang disediakan di depan tenda.

"Di tahun 1960, seharusnya tak seekor pun simpanse saya beri nama," kata Jane."Saat itu simpanse dianggap tak memiliki kepribadian, juga pikiran. Mereka cuma hidup liar dengan naluri alam."

- bersambung -