"Ini kedua kalinya aku mengenali penerbangan Iran. Bisa dipahami jika hal ini adalah komunikasi terkait teknologi militer," ujar menteri luar negeri untuk pemerintah bayangan, Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), Zin Mar Aung.
"Hubungan militer dengan junta militer Myanmar yang tampaknya mencari cara mengadopsi otoritarianisme militer, dan sebuah negara seperti Iran dapat dikatakan dalam situasi mengkhawatirkan, tidak hanya untuk otokrasi terhadap warga Myanmar tapi juga dari pandangan keamanan regional dan internasional," tambahnya.
Tahun 2019, Kementerian Keuangan AS menerapkan sanksi kepada Qeshm Fars Air untuk tuduhan membawa senjata-senjata kepada kelompok yang didukung Teheran di perang sipil Suriah atas pergerakan Pasukan Garda Revolusi Iran Qods (IRGC-QF).
IRGC-QF adalah unit militer terkhusus dalam medan perang modern.
Dalam mengumumkan sanksinya, Kantor Kontrol Aset Asing dari Kementerian Keuangan AS menyebut secara khsusu dua pesawat terbang yang dimiliki Qeshm Fars Air yang mengkhawatirkan.
Salah satunya dengan registrasi "EP-FAA", tampaknya merupakan pesawat yang terbang ke Myanmar minggu lalu menurut jasa pelacakan penerbangan.
Qeshm Fars Air, yang secara asli beroperasi sebagai maskapai komersial antara 2006 sampai 2013 memulai kembali operasinya di tahun 2017, dan armadanya yaitu dua pesawat B747 telah mengoperasikan penerbangan kargo reguler ke Damaskus.
Penerbangan itu mengirimkan kargo, termasuk pengiriman senjata, atas nama IRGC-QF, seperti dikatakan aturan sanksi AS sebagai peringatan bagi siapa saja yang mendukung maskapai itu akan berisiko mendapatkan sansksi juga.
Media lokal Myanmar, The Irrawaddy, melaporkan bahwa sebelum kudeta pada Januari 2020 pesawat Iran telah secara singkat berhenti di bandara Naypyidaw.
Sumber saat itu mengatakan kepada The Irrawaddy jika kemungkinan pesawat itu mengirimkan kargo militer.
KOMENTAR