Intisari-Online.com - Terkait satu dari sekian kasus praktik intimidasi dan kekerasan terhadap Syiah,Endo Sudarsono, Humas Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS), mengaku punya alasan atas serangan oleh laskar itu.
"Ini masalah keyakinan. Mengapa Syiah? Karena itu penodaan agama di internal. MUI punya beberapa fatwa terkait ajaran Syiah," tutur pria yang bargabung dengan LUIS sejak 2004 itu.
Menurut Endo, yang paling fatal dalam ajaran Syiah adalah mengingkari sahabat nabi dan istri Rasull, Aisyah. Selain itu juga soal praktik seperti nikah mut'ah dan ritual melukai diri saat Asyura.
Sebelum di Solo, LUIS sudah pernah berurusan dengan para Syi'i di Semarang pada 2015.
Mereka mendesak aparat keamanan untuk membatalkan acara besar tersebut yang akan diadakan di pinggir pantai.
Kemudian, saat acara berpindah ke indoor mereka kembali mendesak untuk membatalkan acara tersebut, hingga akhirnya para Syi'i berpindah ke lokasi lain.
Riana menepis anggapan itu.
"Ritual melukai diri, saya juga kurang paham. Tapi itu bukan kami. Kami lebih ke aliran Syiah immamiyah istna asy'ariyah (12 imam), " kata Riana.
Habibah juga menambahkan, “Nikah mut'ah ( menikah dengan jangka waktu tertentu) yang disebut-sebut juga tak kami lakukan.
Kasus penyerangan itu kemudian berujung ke pengadilan.
Menurut Riana, komunitas Syi’i memilih mengalah dengan menghentikan pertemuan secara offline untuk sementara waktu.
Dia berharap undang -undang yang mengatur kebebasan beragama bisa dijalankan.
"Bukan hanya untuk Syiah tapi untuk semua warga negara, apapun keyakinanya.”
Saat terjadi penyerangan itu, hanya segelintir yang membela Syi’i.
Salah satunya adalah Peace Generation. Ketua Peace Generatio Ninin Karlina menilai keamanan Solo memang rentan dalam memberikan perlindungan menjalankan ibadah bagi minoritas seperti Syiah.
“Mereka (massa) tidak takut pada aparat. Jadi aparat mungkin punya keinginan untuk melindungi tapi belum maksimal," tutur Ninin.
Komunitas Syi’i cenderung tertutup. Butuh waktu 4 bulan bagi Ninin Karlina untuk bisa mendekati para penganut Syiah. "Mereka sangat tertutup," ujarnya.
Ninin menyadari soal Syiah ini sangat sensitif. Ia mengaku tak heran para Syi'i menyembunyikan identitas mereka.
Penyembunyian inipun dikenal dengan sebutan Taqiyah, melindungi identitas komunitas saat berada di bawah penganiayaan atau tekanan.
Sadar situasi cukup pelik, Ninin berusaha mencari jalur aman yakni dengan melakukan pendekatan keamanan terhadap perempuan dan anak.
“Kalau seperti kasus Syiah harus seperti itu! Kita memakai diksi lain, bahasa lain untuk membantu mereka ,”tuturnya.
Ninin dan beberapa komunitas perempuan lainnya kala itu mendesak aparat untuk mendeklarasikan usaha perlindungan bagi perempuan dan anak Syi’i.
“Jadi jangan bilang perdamaian-perdamaian tapi kita nggak damai sama diri kita buat apa. Kalau bicara soal perdamaian harus pakai metode yang pas juga. Tidak mati konyol,” tutur ustadzah berusian 30-an itu.
Meski sudah menggunakan pendekatan berbeda, nampaknya usaha Ninin dinilai tak elok oleh sebagian orang. Beberapa orang malah menyudutkan Ninin dengan sebutan “Ustadzah liberal” dan memusuhi Ninin.
Tak ambil pusing, Ninin memilih untuk fokus pada misi perdamaian yang ia usung bersama Peace Generation.
“Saya lebih fokus kepada membangkitkan suara-suara humanis kepada mereka yang belum terkontaminasi,” ujar ibu satu anak itu.
Sebelum terlibat dalam gerakan mendukung kelompok minoritas, Ninin dulunya punya pemikiran radikal.
"Dulu saya sering menyerang dan berdebat tentang kitab-kitab suci yang tak sesuai dengan Al-Quran. Bahkan pernah menginjak salah satu kitab suci agama berbeda," kenangnya.
Terbiasa hidup dalam lingkungan homogen membuat Ninin terlahir dengan sikap eksklusif dan sulit menerima perbedaan.
"Jangankan beda agama, yang sesama Muslim saja aku bully," ujarnya.
Melalui pengalaman pribadinya ini Ninin belajar memahami agama yang berbeda dari berbagai sisi, termasuk dalam melihat Syiah.
Terlepas dari berbagai pandangan yang berbeda, Ninin percaya bahwa Allah adalah merupakan rahmat bagi seluruh alam.
"Islam itu Rahmatan Lil'Aalamin, rahmat bagi siapapun itu, entah manusia, hewan maupun tumbuhan," ujarnya.
Keberagaman Identitas
Ketua Setara Institue Halili Hasan menilai hak-hak Syiah perlu diadvokasi karena komunitas tersebut rentan menjadi korban baik dalam bentuk diskriminasi dan persekusi.
Ia juga menilai perlindungan terhadap Syiah tidak memadai.
"Bahkan negara secara kontradiktif pernah memberikan legalitas bagi pendirian ANNAS (Aliansi Nasional Anti Syiah) yang jelas sisi visi misinya bertentangan dengan spirit penerimaan atas keberagaman identitas dalam tata kebhinekaan Indonesia," kata Halili, 3 Desember lalu.
Akhmad Ramdhon, Dosen Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret, menilai penolakan terhadap pandangan yang berbeda ini sebagai salah satu dampak dari penyeragaman di masa Orde Baru.
Itu berdampak pada sikap eksklusif berbasis identitas dan intoleran terhadap keberagaman. Politik identitas yang dikapitalisasi oleh beberapa pihak ini berkontribusi terhadap kasus penyerangan terhadap jemaah Syi'i.
Halili sendiri menilai banyak aspek keberagaman yang harus diperbaiki, terutama literasi atau pemahaman lintas identitas.
Ketidakpahaman inilah yang terlihat dari maraknya kasus penyerangan terhadap Syiah dalam 5-10 tahun ini.
“Penyerangan Syiah di Solo baru-baru ini, sebelumnya di Yogyakarta. Paling parah tentu komunitas Syiah Sampang yang mengakibatkan Syi'i mengungsi ke Sidoarjo,” tambahnya.
"Banyak ketidakpahaman pada komunitas ini, baik dari sisi ajaran maupun aspek sosial."
"Padahal sudah ada deklarasi Amman dan Deklarasi Bogor yang mengakui Syiah dan Sunni sebagai dua mazhab yang diakui dalam dunia Islam," kata Halili.