Namun, kebuntuan terjadi karena upaya Filipina mengirimkan pasokan kepada personel pertahanannya yang ditempatkan di beting ini.
Ayungin Shoal, merupakan wilayah di mana kapal terdampar yang dikenal sebagai Sierra Madre menjadi rebutan selama lebih dari dua dekade dan penempatan pasukan di sana yang memastikan serangan dari China tidak terdeteksi.
Insiden ini mendapat tanggapan pedas dari Menteri Luar Negeri Filipina, Teodoro Locsin, yang dengan tegas menyatakan bahwa pelanggaran pergerakan kapal angkatan laut Filipina bertentangan dengan Pasal 4 Perjanjian Pertahanan Bersama Filipina-Amerika Serikat (MDT), mendorong batas-batas perbatasan.
Locsin menegaskan pentingnya United Nations Convention on the Law of the Seas (UNCLOS) dengan menyatakan bahwa Ayungin Shoal merupakan bagian integral dari Filipina.
Menurutnya, wilayah tersebut berada di bawah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Filipina, yang secara jelas diakui di bawah prinsip UNCLOS.
Pernyataan China di kawasan itu tidak mengakui UNCLOS dan didasarkan pada klaimnya terhadap sembilan garis putus-putus yang mencakup hampir 80 persen perairan Laut China Selatan sebagai miliknya. China bahkan telah menolak putusan PCA pada 2016.
China keberatan dengan eksplorasi minyak Indonesia di lepas pantai kepulauan Natuna di utara Laut Natuna, yang disebut Beijing sebagai Laut China Selatan, pada 1 Desember 2021.
Pada akhirnya serangan China ke perairan itu menarik segera setelah kesepakatan AUKUS ketika Indonesia menyatakan keprihatinan atas potensi tren perlombaan senjata yang datang di perairan regional.
Serangan ini lebih fokus dengan keberatan untuk eksplorasi Indonesia di ZEE-nya sendiri, melansir newindianexpress.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR