Sementara, yang disebut orang-orang Nusantara adalah: orang Palembang, orang Tumasik (Singapura), Madura, Bali, Koci, Wandan (Banda, Maluku Tengah), Tanjungpura (Kabupaten Ketapang), dan Sawakung (Pulau Sebuku).
Sama halnya dengan kakawin Negarakertagama yang tidak menyebut tanah Sunda sebagai wilayah Majapahit sehingga mereka harus membayar upeti.
Tetapi di Negarakertagama, nama Madura juga tidak disebut.
Naskah dalam Kidung Sunda ini berasal dari Bali, namun tidak jelas apakah teks itu ditulis di Jawa atau di Bali, bahkan nama penulisnya pun tidak diketahui.
Termasuk masa penulisan pun tidak diketahui dengan pasti.
Hanya saja di dalam teks disebut tentang bedil (senjata bubuk mesiu atau senjata api).
Senjata berbasis bubuk mesiu ini masuk ke Indonesia sejak perang Jawa-Mongol Yuan, ketika pasukan Mongol menyerang Kediri dengan pao (bahasa China untuk meriam).
Meriam yang disebut cetbang ini umunya digunakan saat ekspansi Majapahit tahun 1336-1350.
Yang jelas, puisi dalam Kidung Sunda ini disusun setelah tahun 1540 karena ada deskripsi kuda Anepaken, pati Sunda, yang bisa dibandingkan dengan kuda Ranggalawe, tokoh terkenal dari puisi Jawa lainnya, yaitu Kidung Ranggalawe yang disusun pada 1540.
Pengaruh Islam terlihat pada Kidung Sunda berisi beberapa kata pinjaman Persia-Arab seperti ‘kabar’ (berita) dan ‘subandar’ (sinonim dengan ‘syahbandar’, yang berarti kepala pelabuhan).
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR