Bagi Orang Tengger, semua orang, siapapun dia, didudukkan sama (padha) dan satu keturunan (sakturunan).
Karena konsep padha dan sakturunan itulah maka bentuk hubungan sosial masyarakat Tengger menjadi cenderung bersifat egaliter, tidak mengenal sistem stratifikasi yang kaku, tidak bergaya hidup priyayi, dan, lebih dari itu, juga memiliki rasa kekeluargaan serta solidaritas sosial tinggi.
Asal-usul nama Tengger juga berasal dari pengertian 'tengering budi luhur', yaitu masyarakat Tengger ditandai dengan sifat-sifat budi pekerti luhur.
Ada dua produk tradisi lisan yang masih hidup di Tengger, antara lain folklore dalam bentuk cerita rakyat (prose narrative) dan mantera.
Kelompok terakhir berupa doa-doa yang dipakai oleh para tokoh spiritual (dukun) Tengger lewat berbagai macam upacara adat.
Ada dua legenda utama, pertama legenda Kasada yang berkisah tentang sejarah mengapa masyarakat Tengger melakukan ritual mempersembahkan berbagai hasil pertanian mereka ke kawah Gunung Bromo saat bulan Kasada tiba.
Kemudian legenda Karo, yang berisi petunjuk mengenai perihal sejarah mengapa Orang Tengger mengadakan ritual upacara Karo guna memuliakan dan menyucikan arwah para leluhur yang telah meninggal di bulan Karo.
Peneliti dari Indonesia, Ayu Sutarto meneliti tradisi sastra lisan masyarakat Tengger dan menyimpulkan jika proses penyalinan dari lisan menuju tulisan malah seringnya mengubah narasi sehingga bertentangan dengan pikiran mayoritas pewaris tradisi Tengger sendiri.
KOMENTAR