Hal tersebut memicu munculnya organisasi lain, seperti Kepanduan Putera Indonesia (KPI), Pandu Puteri Indonesia (PPI), dan Kepanduan Indonesia Muda (KIM).
Setelah para pejuang berhasil menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan, Pandu Rakyat kembali menggelar Kongres II di Yogyakarta pada 20-22 Januari 1950.
Hasil kongres tersebut adalah menerima konsep baru, yaitu memberi kesempatan kepada golongan khusus untuk menghidupkan kembali bekas organisasinya.
Sehingga Pandu Rakyat bukan lagi satu-satunya organisasi kepramukaan di Indonesia.
Baca Juga: Latar Belakang dan Penyebab Pertempuran 10 November di Surabaya
Lahirnya gerakan Pramuka
Pada perkembangannya, kepanduan Indonesia kemudian terpecah menjadi 100 organisasi yang tergabung dalam Persatuan Kepanduan Indonesia (Perkindo).
Namun, jumlah perkumpulan kepramukaan di Indonesia tidak sebanding dengan jumlah seluruh anggota perkumpulan.
Selain itu masih ada rasa golongan yang tinggi, sehingga membuat Parkindo menjadi lemah.
Untuk mencegah hal itu, Presiden atau Mandataris MPRS pada 9 Maret 1961 mengumpulkan tokoh dan pemimpin gerakan kepramukaan Indonesia.
Seluruh organisasi kepanduan yang ada, dileburkan menjadi satu dengan nama Pramuka.
Presiden menunjuk panitia terdiri atas Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Prijono, Azis Saleh, Achmadi, dan Muljadi Djojo Martono.
Gerakan Pramuka tersebut diawali dengan serangkaian peristiwa yang saling berkaitan, yaitu:
1. Pada 9 Maret 1961 diresmikannya nama Pramuka dan menjadi Hari Tunas Gerakan Pramuka.
2. Pada 20 Mei 1961, diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961 Tentang Gerakan Pramukan dan momen tersebut dikenal sebagai Hari Permulaan Tahun Kerja.
3. Pada 20 JUli 1961, para wakil organisasi kepanduan Indonesia mengeluarkan pernyataan di Istana Olahraga Senayan, untuk meleburkan diri ke dalam organisasi Gerakan Pramuka. Sehingga disebut sebagai Hari Ikrar Gerakan Pramuka.
(*)
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR