"Walaupun Indonesia tidak memiliki delimitasi tertunda apapun dengan China, Indonesia sering dipaksa bertindak karena klaim sembilan garis putus-putus China di Laut China Selatan yang tumpang tindih dengan ZEE Indonesia," papar Aristyo.
Di bawah Konvensi PBB untuk Undang-undang Laut (UNCLOS), Indonesia memiliki hak kedaulatan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam di dalam ZEE dan landas kontinennya.
Artikel 73 dari UNCLOS juga memberikan wewenang bagi Indonesia untuk melaksanakan hukum nasional dan peraturannya terhadap kapal asing yang secara ilegal memasuki ZEE Indonesia tanpa persetujuan Indonesia.
Itulah sebabnya setelah insiden China, Indonesia selalu mengirim lebih banyak coastguard atau bahkan kapal perang Angkatan Laut untuk berpatroli di Laut Natuna Utara.
Namun, patroli tidak bisa dilakukan setahun penuh.
Masalah anggaran tampak menjadi penghadang utama mencegah kehadiran militer berkelanjutan di Laut Natuna Utara.
Aristyo menjelaskan, untuk menghadang China dari memancing ilegal dan sesuka hati survei di ZEE Indonesia, Jakarta perlu bergerak lebih dari strategi fokus pada militer di Laut Natuna Utara.
"Menggunakan kehadiran sipil untuk memfasilitasi semua sumber daya di wilayah itu sangatlah penting. Laut Natuna Utara dan Kepulauan Natuna memiliki sumber daya alam yang kaya seperti keanekaragaman hayati, dan juga potensi tambang.
KOMENTAR