Intisari-Online.com - China melalui Belt and Road Initiative (BRI) mengajak negara-negara berkembang untuk bekerjasama di mana China akan berinvestasi besar-besaran dalam infrastruktur negara tersebut.
Tak jarang, hal itu dianggap sebagai 'jebakan utang' China terhadap negara-negara yang tak mampu membayar utangnya.
Contohnya saja Sri Lanka, salah satu peserta BRI yang mabuk utang China.
Proyek Bandara Internasional Mattala Rajapaksa (MRIA), yang menelan biaya US$190 juta dengan bunga 6,3 persen per tahun, di daerah yang tidak menarik penumpang, hampir tidak memberikan manfaat bagi negara.
Kolombo yang tidak mampu membayar, pada akhir Juni 2016 terpaksa membuat kesepakatan penyerahan tanah untuk disewakan selama 99 tahun.
Brahma Chellaney, seorang analis strategis yang berbasis di India dengan Asosiasi Kerjasama Regional Asia Selatan, menyebut BRI sebagai “upaya diplomasi jebakan utang, hubungan bilateral yang terjalin atas dasar utang” di mana negara kreditur dengan sengaja memberikan kredit berlebihan kepada negara debitur sehingga debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya sehingga memungkinkan kreditur mengganggu keadaan ekonomi dan politik di negara debitur.
Mengakui hal ini, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad pada Agustus 2018 mengatakan negaranya akan menghentikan proyek-proyek yang didukung pendanaan dari China, termasuk jalur kereta api senilai US$20 miliar.
Lantas bagaimana dengan Indonesia?
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Tatik Ariyani |
KOMENTAR