Lantas, mengapa warga nonpribumi tidak boleh punya tanah di Yogyakarta?
Mengutip Kompas.com, Prof Suyitno, ahli pertanahan yang juga anggota Parampara Praja Yogyakarta, menjelaskan mengapa Paku Alam VIII dan Sultan Hamengku Buwono IX menerbitkan Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY mengenai Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Nonpribumi.
Sejarah dimulai ketika Hindia Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Meester in de Rechten Herman Willem Daendels tahun 1808-1811.
Saat itu banyak warga pribumi menjual tanah ke perusahaan asing.
Kemudian ketika kepemimpinan dilanjutkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch tahun 1830, diberlakukanlah tanam paksa, sampai ada peraturan Bealnda staatsblad tahun 1870 dan diturunkan dengan peraturan ground-vervreemdings-verbod, berisi larangan bagi pribumi untuk menjual tanahnya ke warga asing.
Aturan ini ditulis di staatsblad tahun 1875 No 179.
Mundur 5 tahun sebelumnya, pada tahun 1870, saat itu modal asing diizinkan untuk masuk, yang disebut dengan politik pintu terbuka (Opendeur-Politik).
Tahun 1870, pemerintah Hindia Belanda mendapatkan protes dari kalangannya sendiri dan kemudian menghapus tanam paksa di Pulau Jawa dan menggantinya dengan politik pintu terbuka, sampai pemerintah Belanda menerapkan UU Agraria 1870.
KOMENTAR