Saat itu, mereka berhasil menyelundupkan kamera melewati pejabat Australia dan mencapai kamp tersebut.
Dilaporkan, banyak dari penghuni tempat itu melarikan diri dari kesengsaraan zona perang dunia -seperti Suriah, Irak dan Afghanistan- tetapi akhirnya justru harus menemukan diri mereka di penjara seperti itu.
Orang-orang di Manus takut untuk berbicara. Tetapi, mereka berhasil berbicara dengan seorang pria Timur Tengah, Ahmed (bukan nama sebenarnya).
"Situasi saya dalam penahanan sangat, sangat, sangat mengerikan," kata Ahmed kepada wartawan BBC.
“Kami tinggal di satu kamar dua meter persegi, empat orang. Itu tidak adil," ungkapnya.
"Pemerintah Australia melanggar sebagian besar hak asasi manusia kami. Mereka tidak punya rencana untuk kami," ratapnya.
Ahmed adalah salah satu dari sekitar dua lusin pencari suaka yang telah setuju untuk dimukimkan kembali di Pulau Manus sebagai pengungsi.
Mengira itu berarti dia bisa meninggalkan pusat penahanan, tetapi ternyata situasinya hanya sedikit membaik dan justru hanya tinggal di 'pusat pemukiman' yang dijaga ketat.
Ahmed mengatakan, ia diperbolehkan keluar dan berkeliling di siang hari, tetapi tidak diizinkan bekerja, dan dia harus mematuhi jam malam yang ketat antara pukul 6 sore dan 6 pagi.
Selain itu, seperti kebanyakan pencari suaka, dia mendapatkan berpendidikan baik, dengan gelar dan kualifikasi profesional.
"Ada dokter, guru, insinyur, pembuat karpet. Mereka adalah orang-orang yang cerdas. Kita bisa menggunakan keahlian mereka," kata salah satu satpam di Manus yang tidak mau disebutkan namanya.
"Saya merasa kasihan pada mereka. Mereka adalah manusia. Mereka menginginkan kebebasan mereka," katanya.
Penulis | : | Khaerunisa |
Editor | : | Khaerunisa |
KOMENTAR