Mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak dan sekutu-sekutunya, yang kini kembali berkuasa, juga bergantung pada China sebagai pengawas strategi besar mereka selama bertahun-tahun.
Itulah mengapa sedikit pengamat tidak terkejut dengan posisi Malaysia di tengah posisi mereka terhadap AUKUS, ketika mereka menekankan "perlunya melihat pandangan China, terutama pejabat pertahanan China, tentang apa yang mereka pikirkan mengenai AUKUS dan apa aksi mereka selanjutnya."
Namun pada 3 tahun terakhir, Malaysia telah lambat laut mengulas diplomasi diam mereka dengan China di tengah ketegangan yang tumbuh di Laut China Selatan, dan juga karena kekhawatiran atas diplomasi 'jebakan utang' China.
Mantan Perdana Menteri Mahathir Mohammad secara terbuka mengkritik infastruktur yang dicurigai kemahalan dan jadi ladang korupsi di negara mereka, sementara ia juga memasang kuda-kuda lebih kuat terhadap ketegangan dengan Beijing.
Di bawah arahan Mahathir, Malaysia secara terbuka mengancam China dengan mengajukan arbitrase Laut China Selatan sembari secara terbuka mengkritik klaim ekspansif China, 'sembilan garis putus-putus' sebagai konyol.
Dimulai pada Desember 2019, Malaysia juga meningkatkan aktivitas eksplorasi energi mereka di wilayah yang sama-sama diklaim China dan Vietnam.
Walaupun administrasi Mahathir runtuh di tahun berikutnya, Malaysia tetap melanjutkan aktivitas eksplorasi energinya.
Melanjutkan ketegangan berbulan-bulan lamanya dengan armada China, yang secara terus-terusan mengganggu aktivitas kapal pengeboran minyak Malaysia West Capella, mantan Menteri Luar Negeri Hishammuddin Hussein menggaris bawahi: "Malaysia tetap tegas terhadap komitmennya menjaga kepentingan dan haknya di Laut China Selatan."
KOMENTAR