Beberapa dikirim untuk melakukan pekerjaan kasar di militer Indonesia atau bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Banyak orang, seperti Kalistru, diambil dengan diiming-imingi kehidupan yang lebih baik di luar Timor-Leste.
Dibesarkan sebagai orang Indonesia, atau ditinggalkan jauh dari rumah, mereka adalah “generasi curian” Timor-Leste.
Salah satu tentara Indonesia di Ainaro hari itu adalah Sumia Atmaja.
Dia menyelundupkan Kalistru dan anak-anak lelaki lainnya ke sebuah kapal angkatan laut di Dili, menuju Jakarta.
Dari sana ia membawa pulang anak laki-laki itu ke keluarganya di Jawa Barat dan secara efektif mengadopsinya sebagai putra keduanya.
Kalistru terpaksa mengganti namanya menjadi Alis Sumiaputra, yang berarti “anak Sumia”.
Ia dibesarkan dalam sistem sekolah Indonesia dan masuk Islam, meninggalkan iman Katolik orang tuanya di Timor-Leste.
Lambat laun ia melupakan bahasa Tetum asalnya.
Pada waktunya dia lupa banyak tentang kehidupan awalnya di pedesaan Ainaro, bahkan tentang keluarganya sendiri.
Kehidupan Alis di Indonesia memang tidak bahagia.
Prajurit yang membawanya baik, katanya, dan membesarkannya seolah-olah Alis adalah darah dan dagingnya sendiri.
“Dia berkata, 'Kamu bukan orang asing, kamu anakku.' Setelah bertemu ibu angkat saya dengan keempat anaknya, kami seperti saudara kandung. Kami memiliki hubungan yang sangat baik.”
Namun pada tahun 2019, 42 tahun setelah dia diculik, ingatan kembali muncul dengan kematian ayah angkat Alis yang berkewarganegaraan Indonesia dan kunjungan orang asing.
“Hati saya merindukan orang tua saya sejak ayah angkat saya meninggal,” kata Alis.
(*)
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR