Untuk mencegah bergabungnya massa yang datang dari Gereja Motael dan massa di kuburan St Cruz, dikerahkan dua peleton dari Yonif 303 dan satu peleton dari Yonif 744, serta satu peleton Brimob anti huru-hara.
Namun kemudian terjadi proses penggabungan massa. Sebagian dari massa yang ada di kuburan bergerak ke luar, bergabung dengan massa yang berada di luar serta melakukan gerakan agresif dan menyerang aparat.
Pada saat itu, terdengar letusan tembakan dari arah kuburan dan suara teriakan "serbu, rebut senjata."
Satuan pengamanan melepaskan tembakan peringatan ke atas, tetapi massa tidak memperdulikan tembakan peringatan tersebut, malahan menjadi lebih beringas.
Massa terus mendesak dengan senjata tajam di tangannya, dan melemparkan sebuah granat ke arah satuan pengamanan.
Melihat adanya lemparan granat dan massa masih tetap menyerbu, maka prajurit terdepan sebagai prajurit profesional, secara otomatis melepaskan tembakan terarah sebagai upaya untuk membela diri.
Untuk merespons insiden itu, Presiden Soeharto saat itu membentuk Komisi Penyelidik Nasional (KPN) di bawah pimpinan Hakim Agung M Djaelani.
Tragedi Santa Cruz tersebut banyak mendapat sorotan dari media asing. Mereka menganggap bahwa pemerintah Indonesia banyak terkesan menutup-nutupi insiden itu.
(*)
Penulis | : | Khaerunisa |
Editor | : | Khaerunisa |
KOMENTAR