Intisari-Oline.com - Di salah satu titik tergelap Revolusi Kebudayaan, perselisihan politik berubah menjadi kebrutalan ekstrem di wilayah selatan Tiongkok, Guangxi, tempat ratusan manusia dimakan oleh sesama manusia.
Kabupaten Wuxuan, di Daerah Otonomi Guangxi Zhuang, Tiongkok selatan, adalah kota yang tenang dengan ladang pertanian hijau yang luas.
Pada akhir 1960-an, pada puncak Revolusi Kebudayaan China di bawah Mao Zedong, Pengawal Merah dan pejabat Komunis setempat melakukan kekerasan terhadap lawan mereka.
Tetapi sejauh mana teror ini tidak akan diketahui jika bukan karena pelaporan seorang penulis Tiongkok di awal 1990-an.
Dia mengungkap tingkat kebiadaban, kebejatan, dan bahkan tindakan memakan sesama manusia yang kemudian dikenal sebagai pembantaian Guangxi.
Revolusi Kebudayaan Mao Menyebabkan Kekacauan
Pada tahun 1958, Perdana Menteri China Mao Zedong membuat program 'Lompatan Jauh ke Depan,' sebuah kampanye untuk mengubah negaranya menjadi pusat kekuatan industri.
Hasilnya adalah bencana: lebih dari 50 juta orang meninggal selama Kelaparan Besar China dan puluhan ribu lainnya mengalami bencana.
Dengan demikian Mao terpaksa mengakui kegagalannya pada tahun 1962 dan mengundurkan diri dari kursi kepresidenan, tetapi ia mempertahankan kepemimpinan Partai Komunis.
Namun, Mao menolak segera merencanakan supremasi kembali.
Mao melakukannya pada 16 Mei 1966, ketika dia secara terbuka menuduh beberapa pemimpin tinggi sebagai "revisionis kontra-revolusioner" yang berencana untuk melemahkan Partainya dari dalam.
Segera setelah itu, Mao memberikan restunya kepada Pengawal Merah untuk menentang siapa pun yang dicurigai tidak setia dan yang mengusir pembangkang.
Di seluruh negeri, pemberontakan kekerasan terjadi.
“Sesi Perjuangan” menjadi bentuk hukuman yang populer di mana anggota Partai Komunis Tiongkok secara terbuka mempermalukan dan menyiksa para pembangkang atau lawan.
Tetapi sesi-sesi ini berubah menjadi sangat kejam, dan di beberapa daerah, berubah menjadi tindakan memakan sesama manusia.
Sementara kanibalisme telah terjadi di China selama Kelaparan Besar, pada akhir 1960-an, persediaan makanan sebenarnya cukup.
Oleh karena itu, kanibalisme disebabkan karena kebencian politik.
Melansir All that's Interesting, konon tindakan paling brutal terjadi di Kabupaten Wuxuan, di mana para pejabat memakan hati, dan alat kelamin musuh atau korbannya.
Praktik mengerikan itu dimulai pada tahun 1968 ketika para siswa di Sekolah Menengah Wuxuan memukuli guru geografi mereka sampai mati dan membawa tubuhnya ke tepi Sungai Qian.
Di sana mereka memaksa guru lain untuk memotong jantung dan hatinya.
Sekembalinya di sekolah, para siswa memasak dan memakan organ.
Pejabat senior juga dilaporkan turut ikut dalam “perjamuan daging,” memesan jantung dan hati lawan mereka untuk direbus dengan rempah-rempah dan daging babi.
Warga negara berpangkat lebih rendah “hanya diizinkan untuk memakan lengan dan paha korban.”
Seorang anggota Partai Komunis, bernama Wang Wenliu, dikenal sebagai memakan alat kelamin laki-laki atau mengawetkannya dalam minuman keras.
Setelah dia dipromosikan, Beijing mengetahui kebiasaan berdarahnya dan mempertanyakan mengapa dia tidak dikeluarkan dari Partai.
Penyelidikan selanjutnya mengungkap bahwa dia, pada kenyataannya, hanya makan daging dan hati.
Pangkatnya kemudian dicopot, tetapi diizinkan untuk tetap bekerja di Partai.
Kemudian pada Mei 1968, sebuah pemberontakan yang sangat kejam di Partai Komunis melihat seorang ketua dikerumuni dan dipotong-potong, dengan kepala dan tulang kakinya digantung di lapangan umum.
Militan Pengawal Merah kemudian melihat saudaranya, memukulinya dengan keras, dan mendorongnya ke dalam lubang saluran pembuangan.
Di sana mereka memotong jantung dan hatinya saat dia masih hidup.
Yang lain dengan cepat melucuti daging tubuhnya, dan tulangnya dibuang ke sungai.
Selama hampir satu dekade, warga Guangxi diganggu oleh “pemenggalan kepala, pemukulan, penguburan hidup-hidup, rajam, penenggelaman, perebusan, pembantaian berkelompok, pengeluaran isi perut, penggalian jantung, hati, alat kelamin, pemotongan daging, meledakkan dengan dinamit, dan banyak lagi.”
Jumlah resmi orang yang dikonsumsi di seluruh wilayah adalah 137, tetapi jumlah kematian sebenarnya kemungkinan ratusan lebih.
(*)