"Sejak awal UU KPK dibentuk gratifikasi tidak dirancang untuk juga menjadi tindak pidana suap, gratifikasi menjadi perbuatan yang dilarang terjadi saat penerima gratifikasi tidak melaporkan hingga lewat tenggat waktu yang ditentukan UU," ucap Hakim Teguh.
Mereka menilai bukan koruptor Samin Tan, tapi Eni Saragih lah yang melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak melaporkan gratifikasi.
"Sifat melawan hukum penerimaan gratifikasi ini ada dalam diri si penerima bukan dalam diri si pemberi. Sikap melawan hukum ini ditunjukkan kepada penerimanya hal inilah yang membedakan antara gratifikasi dan suap," kata Hakim Teguh.
Majelis Hakim juga menganggap tidak ada aturan perundang-undangan yang mengatur pemberi gratifikasi.
Baca Juga: Wah, Wah, Tiba-tiba Mantan Bos BTN Maryono Diperiksa Kejagung, Ada Apa Gerangan?
"Menimbang karena belum diatur dalam peraturan perundangan maka dikaitkan dengan pasal 1 ayat 1 KUHAP menyatakan pelaku perbuatan tidak akan dipidana kecuali dengan peraturan perundangan yang sudah ada maka ketentuan Pasal 12 B tidak ditujukan kepada pemberi sesuatu dan kepadanya tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya," kata hakim.
Sementara itu, Eni Saragih mendapat vonis 6 tahun penjara, denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan, dan kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp5,87 miliar dan 40 ribu dolar Singapura pada Maret 2019 lalu.
KPK menegaskan bukti korupsi koruptor Samin Tan begitu kuat dari awal proses penyelidikan, penyidikan sampai penuntutan lembaga antirusuh, sehingga KPK segera menyusun memori kasasi agar koruptor Samin Tan bisa dihukum sesuai perbuatannya.
"KPK juga meyakini bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup, yang kemudian diperdalam pada proses penyidikan,” kata Ali.
"Di mana seluruh rangkaian perbuatan terdakwa Samin Tan tersebut telah diuraikan secara jelas dalam surat dakwaan Jaksa KPK."
KOMENTAR