Tahun 1927, Kartosoewirjo dikeluarkan dari Nederlands Indische Artsen School karena ia dianggap menjadi aktivis politik serta memiliki buku sosialis dan komunis.
Di masa perang kemerdekaan 1945-1949 Kartosoewirjo terlibat aktif tetapi sikap keras dan prinsip ideologinya membuatnya sering bertolak belakang dengan pemerintah.
Salah satunya ditunjukkan ketika ia menolak pemerintah pusat agar seluruh Divisi Siliwangi melakukan long march ke Jawa Tengah.
Perintah long march itu merupakan konsekuensi dari Perjanjian Renville yang sangat mempersempit wilayah kedaulatan Republik Indonesia.
Kartosoewirjo menolak mentah mentah semua perjanjian yang diadakan oleh Belanda, termasuk Perjanjian Renville.
Kekecewaannya terhadap pemerintah pusat dengan ditandatangani Perjanjian Renville semakin membulatkan tekadnya untuk membentuk Negara Islam Indonesia.
Pemberontakan yang dipimpinnya berlangsung lama, terlebih muncul DI/TII di berbagai daerah.
Tercatat beberapa daerah menyatakan menjadi bagian dari NII terutama Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh.
Perjuangan Kartosoewirjo berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah melalui perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4 Juni 1962.
Eksekusinya terjadi pada a 5 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta.
Ada kisah menyayat hati yang sering diceritakan dari hukuman mati yang dijatuhkan pada tokoh penting Sumpah Pemuda ini.
Bahwa, Presiden Soekarno sempat menangis ketika harus menandatangani surat keputusan untuk eksekusi tersebut.
Penulis | : | Khaerunisa |
Editor | : | Khaerunisa |
KOMENTAR