"Saya memiliki akses ke laporan yang keluar dari kelompok mahasiswa dan dari anggota gerakan perlawanan bersenjata tentang kekejaman yang mengerikan dan pelanggaran hak asasi manusia," katanya.
Selain itu, keahlian berbahasanya-lah yang membuatnya berhasil terhubung dengan berbagai elemen.
"Saya menyamar sebagai turis pada tahun 1990, itu adalah satu-satunya cara untuk benar-benar masuk," bebernya.
"Saya menggunakan kemampuan bahasa saya dengan baik, saya dapat mengobrol dengan mata-mata Indonesia yang berada di bandara mengawasi kedatangan dan pergi.
"Saya dapat menggunakan kemampuan bahasa Portugis saya untuk mengirim surat ke semak-semak kepada anggota Falantil, yang saat itu dipimpin oleh suami saya sekarang.
Kirsty Sword mengaku, ia juga melihat kemampuan bahasanya sebagai 'titik masuk' untuk kisah cintanya dengan Timor Leste.
Ketika menyamar, ia menggunakan nama alias, yaitu Ruby Blade.
"Siapapun yang terlibat dalam mendukung gerakan kemerdekaan dan beroperasi di luar Indonesia memerlukan nama samaran untuk melindungi keselamatan mereka sendiri dan juga keselamatan anggota jaringan lainnya," katanya.
Menurutnya, menggunakan nama samaran adalah pilihan terbaik agar dia tetap bisa masuk ke Indonesia.
"Saya menggunakan Ruby Blade. Jelas, 'Blade' karena 'Sword', tapi Ruby hanya karena terdengar seperti Agatha Christie," ungkapnya.
Penulis | : | Khaerunisa |
Editor | : | Khaerunisa |
KOMENTAR