“Om Liem yang mengemukakan kepada Pak Harto. Suasananya tidak bagus, saya juga tersinggung. Aturan-aturannya terlalu aristokratis,” ujar Sudwikatmono.
Ketika Liem meninggalkan Hanurata, sebagian staf senior juga memutuskan untuk tidak bertahan lagi di perusahaan.
Mereka mengajukann surat pengunduran diri ramai-ramai.
Widojo sadar dia tidak mampu menjalankan perusahaan sendirian.
Akhirnya ia menulis surat kepada Liem, menyatakan mengembalikan perusahaan.
Soeharto kemudian turun tangan untuk menyelamatkan perusahaan, dengan memasukkan saudara tirinya, Probosutedjo, dan sejumlah perwira TNI.
Beberapa tahun kemudian Soeharto menunjuk menantunya, Indra Rukmana (suami Mbak Tutut) menjadi anggota dewan direksi.
Namun, PT Hanurata tidak pernah menjadi cerita sukses.
Liem Sioe Liong dan Soeharto
Bagaimana mungkin seorang pengusaha Tionghoa di masa Orde Baru yang kental sentimen anti-Tionghoa mampu menjadi seorang taipan Indonesia terkaya di Asia Tenggara?
Di puncak kesuksesannya, sekitar tahun 1996, Liem Sioe Liong terlibat erat dengan kehidupan sehari-hari jutaan keluarga Indonesia.
Mulai dari bank (BCA), semen (Indocement), pengolahan tepung (Bogasari), hingga makanan (Indofood).
Bahkan, perusahaan mi instan miliknya telah mengalahkan sang produsen instan, Nissin Food.
Dekat dengan Soeharto Kesuksesan Liem tak dapat dilepaskan dari pertemanan dan patronasenya dengan Presiden RI saat itu, Soeharto.
Berkat perlindungan yang diberikan Soeharto, Liem mendapatkan perlakuan istimewa berbisnis di Indonesia.
Tentu saja, hal itu menuntut imbalan, yakni dalam bentuk saham dan sumbangan kepada yayasan-yayasan yang dinaungi Soeharto.
Perkenalan Liem dengan Soeharto dimulai saat Liem memasok kebutuhan tentara di bawah komando Soeharto.
Hal itu berlanjut saat Soeharto menjadi komandan divisi di Semarang tahun 1956, bahkan berkembang setelah Soeharto menjadi presiden.
Dengan perpaduan kerendahan hati dan keramahan, Liem menjaga pertemanan dengan Soeharto hingga masa tuanya.
(*)
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR