Salah satu dari mereka melaporkan: 'Kehadiran Rockefeller menyebabkan peningkatan besar dalam perdagangan lokal, terutama permintaan untuk kepala yang diawetkan dengan cat indah telah meningkat.
Rockefeller dan Wassing melakukan perjalanan di sepanjang pantai selatan dari satu desa ke desa berikutnya.
Para lelaki itu memperdagangkan cangkang dan kapak dan mengumpulkan lebih dari 50 karya seni asli.
Mereka berdua kemudian mengalami insiden kapal terbalik dan terdampar sehari semalam.
Tim penyelamat berhasil menyematkan Wassing, tapi tidak berhasil menyelamatkan Michael.
Atas nama Pemerintah Belanda, Gubernur Pieter Platteel menyediakan perahu, pesawat, marinir, dan unit polisi untuk menemukan Michael.
Lima ribu penduduk setempat menyisir rawa-rawa dan pohon bakau di sepanjang pantai untuk mencari Michael.
Baca Juga: Sembilan KKB Papua Masih Aktif Tebar Ancaman pada Masyarakat, Ini yang Akan Dilakukan Polri
Helikopter Australia dan Belanda memindai garis pantai.
Armada Ketujuh AS menawarkan pesawat dan kapal kargo, setelah telegram dari Presiden John F. Kennedy, mengungkapkan keprihatinannya dan menawarkan bantuan sebanyak mungkin.
Misteri Hilangnya Michael Rockefeller
Delapan tahun setelah kejadian itu, Jurnalis Milt Machlin pergi ke New Guinea untuk menyelidiki hilangnya Rockefeller.
Dia menyimpulkan bahwa Michael dibunuh untuk membalas kematian beberapa pemimpin dari desa pesisir Otsjanep yang telah dibunuh oleh kelompok Patroli Belanda pada tahun 1958.
“Saya kira, dia dibunuh oleh orang Asmat. Mungkin untuk kepalanya. Dia mungkin sudah dimakan. Tapi pejabat pemerintah mengatakan dia hilang di laut agar dunia tidak berpikir bahwa Belanda tidak bisa mengontrol koloninya."
Secara resmi dilaporkan tidak ada perburuan kepala, tidak ada kanibalisme, atau perang suku, pembunuhan putra seorang miliarder terkenal dapat mencoreng nama Belanda di PBB.
Meski begitu, ada desas-desus yang berkembang bahwa Michael Rockefeller masih hidup dan bergabung tinggal dengan suku Asmat.
(*)
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR