Intisari-Online.com - Aksi Kelompok Kriminal Bersenjata di Tanah Papua (KKB Papua) kian hari kian meresahkan penduduk Bumi Cenderawasih.
Label teroris yang telah disematkan pemerintah Indonesia, melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD nyatanya membuat mereka makin beringas.
Setelah sempat memohon-mohon kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar tak digempur habis-habisan usai aksi mereka tewaskan Kepala BIN Daerah (Kabinda) Papua, Brigjen TNI Gusti Putu Danny Nugraha, mereka kembali berulah.
Pada Minggu (2/5/2021), gedung sekolah dan gedung rumah sakit mereka bakar. Sementara fasilitas jalanan mereka rusak. Semuanya terjadi di Distrik Ilaga Utara, Kabupaten Puncak.
"Memang benar ada pembakaran yang dilakukan oleh KKB di Kampung Mayuberi," kata Kapolda Papua, Irjen Mathius D Fakhiri, di Timika, Selasa (4/5/2021), seperti dikutip dari kompas.com.
Ya, mereka kembali melakukan aksi pengrusakan terhadap fasilitas publik yang justru sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang selama ini mereka klaim mereka bela.
Hal ini terasa bagai ironi, apalagi jika nama Lodewijk Mandatjan, seorang legenda KKB Papua, disebutkan.
Perjuangannya yang tulus benar-benar mampu membuat 14 ribu pasukan secara suka rela berani untuk berada di bawah perintahnya.
Sejak 1964 hingga 1967, Lodewijk Mandatjan melakukan berbagai aksi pemberontakan menggunakan senapan-senapan tua peninggalan perang dunia II.
Dalam buku 'Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando' karya Hendro Subroto, terungkap bagaimana Lodewijk Mandatjan mampu membuat pasukan RPKAD (kini Kopassus) kelabakan untuk menghadapinya.
Namun, aksi-aksi Lodewijk Mandatjan beserta pasukannya yang begitu tangguh malah membuat Pangdam XVII/Cenderawasih kala itu, Brigjen TNI Sarwo Edhie Wibowo mencium hal lain.
Mertua dari mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut melihat bahwa perjuangan Lodewijk Mandatjan sangatlah tulus.
Lodewijk Mandatjan tidak berambisi untuk membuat Papua terpisah dari Indonesia.
Pemberontakan yang dilakukan oleh Lodewijk Mandatjan semata-mata didorong oleh kerisauannya dengan kondisi ekonomi Irian Barat (nama Papua saat pertama kali bergabung dengan Indonesia) kala itu.
Apalagi, Lodewijk Mandatjan sendiri pada dasarnya mantan prajurit Indonesia yang bertaruh nyawa dalam operasi Trikora.
Insting Sarwo Edhie pun mulai 'mengendus' ketulusan Lodewijk Mandatjan hingga membuatnya berani membuat keputusan sangat berani: mengajak langsung Lodewijk Mandatjan untuk berdamai.
"Kalau pemberontak kita pukul terus menerus, mereka pasti hancur. "Tetapi mereka adalah saudara-saudara kita," ujar Sarwo Edhie kala itu.
"Baiklah kita pukul, kemudian kita panggil agar mereka kembali ke pangkuan ibu pertiwi."
Maka, dengan keyakinan pada instingnya, Komandan RPKAD ke-5 tersebut sampai berani menyodorkan langsung dua orang kepercayaannya untuk menghadap Lodewijk Mandatjan.
Sarwo Edhie sampai disebut bak menyerahkan leher anak buahnya sendiri kepada legenda KKB tersebut.
Bayangkan saja, Mayor TNI Heru Sisnodo dan Serma Udara John Saleky dari PGT AURI, diminta Sarwo Edhie menemui Lodewijk Mandatjan langsung di markas KKB tanpa membawa senjata sedikitpun.
"Paitua (bapak) tidak usah takut. Saya anggota RPKAD. Komandan RPKAD yang ada di sini, anak buah saya. Dia takut sama saya," ujar Heru Sisnodo saat menghadap Lodewijk Mandatjan.
"Kalau Paitua turun dari hutan, nanti RPKAD yang akan melindungi Paitua," tambah Heru Sisnodo meyakinkan Mandatjan.
Dus, insting Sarwo Edhie yang disertai kenekatannya berbuah manis, Lodewijk Mandatjan sudi untuk 'turun gunung'.
Sang legenda KKB tersebut rela untuk menghentikan pemberontakan yang selama ini sudah dilakukannya.
Bahkan, tak lama setelah dirinya mengakui telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, Lodewijk Mandatjan langsung diundang ke Istana Negara.
Tepat pada 11 Janurai 1969, Lodewijk Mandatjan disambut secara langsung oleh Presiden Soeharto.
Di sinilah Lodewijk Mandatjan akhirnya mampu berdialog mengenai keresahannya selama ini terkait kondisi di Papua.
KOMENTAR