Intisari-Online.com - Setiap negara punya masalahnya sendiri-sendiri.
Entah itu karena pandemi virus corona (Covid-19) atau sebelum pandemi.
Misalnya Timor Leste yang memang sudah mengalami kelaparan sebelum pandemi.
Atau India yang mengalami gelombang kedua pandemi Covid-19 dan membuat layanan kesehatannya porak-poranda.
Ada juga Israel yang sukses menekan pandemi Covid-19 walau beberapa masyarakatnya melanggar protokol kesehatan.
Termasuk apa yang terjadi di Tajikistan.
Negara Asia Tengah ini berbatasan langsung dengan sejumlah negara. Misalnya Afghanistan, China, Kyrgyzstan, dan Uzbekistan.
Nah, soal Tajikistan, tidak banyak yang tahu bahwa Tajikistan pernah mengalami kekurangan makanan dan kebutuhan dasar.
Uniknya negara tetangganya lah yang berusaha menyelamatkannya. Yaitu Kyrgyzstan.
Dilansir dari sputniknews.com pada Rabu (5/5/2021), Presiden Kyrgyzstan Askar Akayev berusaha keras untuk membantu mengakhiri perang saudara di negara tetangga Tajikistan.
Ketika perang saudara meletus antara kekuatan politik Tajik dan klan UTO di Tajikistan pada tahun 1992 setelah negara itu memperoleh kemerdekaan, sebagian besar tetangganya terlibat dalam upaya untuk menyelesaikan konflik.
Di mana konflik itu berakhir setelah merenggut nyawa lebih dari 100.000 orang dan membuat lebih dari satu juta orang terlantar.
Namun, Kyrgyzstan bisa dibilang salah satu kontributor terpenting bagi proses perdamaian.
Presiden Kyrgyzstan Askar Akayev menjelaskan bahwa itu mungkin karena sejumlah faktor dan mengingat bagaimana negaranya membantu pihak yang bertikai membuat dorongan terakhir sebelum menandatangani perjanjian perdamaian.
Mediator ulung
Saat itu, Akayev menugaskan Letnan Jenderal dan veteran KGB Jumambek Asankulov untuk membentuk sebuah kelompok yang akan membantu menyelesaikan konflik secara diplomatis.
(KBG adalah Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti, nama badan intelijen Uni Soviet dari tanggal 13 Maret 1954 sampai tanggal 6 November 1991).
Tidak hanya mengadakan pembicaraan dengan kedua belah pihak, tetapi juga memanfaatkan latar belakang KGB mereka untuk mengumpulkan informasi dari berbagai sumber yang dapat digunakan dalam pembicaraan damai.
Karena menjadi anggota Uni Soviet Tertinggi, Akayev secara pribadi mengenal banyak perwakilan Tajik di badan tersebut.
Hasilnya lumayan. Kedua belah pihak hampir mencapai perdamaian pada Desember 1992, tahun yang sama ketika perang dimulai.
Tetapi mereka gagal mencapai kompromi tentang pembagian kekuasaan - sebuah masalah yang menjadi penghalang pembicaraan selama bertahun-tahun.
Terobosan nyata terjadi di Bishkek, Kyrgyzstan, ketika pemerintah Tajik dan UTO setuju untuk bertemu untuk putaran baru pembicaraan pada tahun 1997 di bawah mediasi Akayev.
Ini karena Presiden Kyrgyzstan pertama itu mengatakan para pemimpin UTO selalu mendengarkan nasihatnya.
Tapi sekali lagi, pembicaraan itu segera menemui jalan buntu.
Namun Akayev tidak menyerah. Beberapa hari setelahnya dia yakin bisa membujuk para pemimpin UTO untuk berdamai.
Kehebatan diplomatis Akayev akhirnya sukses besar.
Hanya berselang 5 hari setelah pembicaraan sempat buntuk, kedua belah pihak menyusun semua rincian pembagian kekuasaan untuk pemerintahan di masa depan dan menandatangani nota "Tentang masalah politik" pada 18 Mei, kata Akayev.
Hingga pada bulan Juni tahun yang sama di Moskow, pemerintah Tajik dan oposisi UTO akhirnya menandatangani perjanjian damai yang mengakhiri perseteruan berdarah tersebut.
Tak sampai disitu, selama bertahun-tahun, mulai dari 1992 dan 1997, Kyrgyzstan telah mengirimkan karavan dengan makanan dan kebutuhan pokok lainnya ke Tajikistan meski sebenarnya mereka juga mengalami kekurangan bahan makanan.
Bahkan Kyrgyzstan memasok listrik ke Tajik dan menerima orang-orang Tajik, yang telah melarikan diri dari kengerian perang saudara.
Itu karena Akayev percaya warga Kyrgyzstan dan Tajikistan masihlah saudara walau Uni Soviet telah runtuh.
Penulis | : | Mentari DP |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR