Krisis keuangan Asia dan protes pro-demokrasi besar-besaran menyebabkan pengunduran diri orang kuat negara itu, Presiden Suharto, yang telah berkuasa selama lebih dari 30 tahun dan telah mengizinkan invasi ke Timor.
Pengganti Suharto, Presiden BJ Habibe, lebih terbuka untuk beberapa bentuk otonomi untuk Timor Timur, dan membebaskan Gusmao dari penjara menjadi tahanan rumah.
Pada Maret 1999 Habibe mengumumkan bahwa jika, dalam “proses konsultasi”, orang Timor-Leste lebih menyukai kemerdekaan daripada otonomi di bawah Indonesia, dia akan mengabulkannya.
Pada tanggal 30 Agustus 1999, PBB mengawasi pemungutan suara bersejarah, di mana 78,5% orang Timor-Leste menolak otonomi demi kemerdekaan.
Perayaan di seluruh negeri berumur pendek.
Kelompok milisi yang didukung Indonesia yang telah meneror penduduk sebelum pemungutan suara meningkatkan serangan mereka, dibantu oleh pasukan keamanan Indonesia.
Kampanye kekerasan selama tiga minggu menewaskan 2.600 orang, hampir 30.000 mengungsi dan sebanyak 250.000 dikirim secara paksa melalui perbatasan ke Timor Barat Indonesia setelah pemungutan suara, yang merupakan kebijakan bumi hangus.
Pada tanggal 20 September 1999, pasukan penjaga perdamaian internasional pimpinan Australia, Interfet, tiba untuk memulihkan ketertiban.
Tapi kerusakan parah telah terjadi. Kota dan desa hancur dan infrastruktur penting hancur.
Gusmao dan para pemimpin lainnya yang diasingkan kembali segera setelah itu dan PBB menjalankan pemerintahan tiga tahun menjelang pemilihan parlemen dan presiden.
Pada Mei 2002 Gusmao dilantik sebagai presiden Timor-Leste yang baru.
(*)
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR