Seperti Alberto yang kala itu berusia 14 tahun, maka anak-anak lainnya diperkirakan kini berusia antara 30-an hingga 40-an.
"Mereka dibawa tanpa persetujuan tulus orang tua. Beberapa di antara mereka diurus dengan baik, dididik, dan dicintai. Namun, banyak juga yang disiksa dan ditelantarkan," kata Galuh Wandita, koordinator program reuni itu.
Baca Juga: Dilakukan pada Bulan Puasa, Serbuan Militer Mesir Operation Badr Sempat Bikin Israel Kocar-kacir
Menurutnya, militer Indonesia ingin "mengadopsi" anak-anak dari keluarga penentang pemerintah Indonesia sebagai cara untuk menghukum, melemahkan, dan mempermalukan musuh.
"Bagi militer, anak-anak ini dibawa seperti jarahan perang. Pulang kembali dari Timor Leste dengan membawa anak menjadi seperti bukti kesuksesan mendominasi Timor Leste," katanya.
Tentang Alberto, kini ia sudah menikah dan telah menjadi seorang kakek.
Ia mengaku tidak pernah merasa betul-betul kerasan di Indonesia dan selalu ingat keluarganya di Timor Leste.
Seperti kebanyakan anak hilang lainnya, Alberto tak lagi bisa berbicara bahasa nasional Timor Leste, yaitu bahasa Tetun.
Selama Albrto tak diketahui keberadaannya, keluarga menganggapnya telah dibunuh oleh militer Indonesia atau kelompok pro-kemerdekaan Timor Leste.
Bahkan, meski tanpa jasad mereka membuat makam untuk Alberto agar bisa berdamai dengan masa lalu.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?
Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini
Penulis | : | Khaerunisa |
Editor | : | Khaerunisa |
KOMENTAR