Menurut Gilmore, tidak mengherankan, partai-partai oposisi dengan cepat takut akan mata-mata domestik tersebut dan menuduh perdana menteri menggunakan mereka untuk tujuan partisannya sendiri.
Hal itu juga dikatakannya berkontribusi pada suasana politik Timor Leste yang semakin tidak stabil.
"Segera setelah saya bertemu kembali dengan Fernando, angkatan bersenjata memberontak dan hampir terjadi perang saudara.
"Alkatiri, yang dituduh memerintahkan pembunuhan, dipaksa mundur. Pemerintah baru dengan cepat menutup layanan mata- mata," katanya.
"Terkubur dalam catatan saya dari masa saya di Timor adalah peringatan 'budaya kerahasiaan memiliki kebiasaan tumbuh dan pada gilirannya menciptakan budaya kecurigaan.' Itu ternyata sangat mengejutkan.
"PM Timor Leste menyembunyikan badan intelijennya di dalam kain kafan, merahasiakan semua aktivitasnya.
"Tidak mengetahui apa yang dilakukan agen Fernando menyebabkan kecurigaan yang beracun di antara oposisi dan publik," tulisnya.
Mari Alkatiri sendiri pernah menjabat sebagai perdana menteri Timor Leste sejak 2002 hingga 2006, kemudian kembali menjabat selama 280 hari sejak September 2017 hingga 22 Juni 2018.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari
Penulis | : | Khaerunisa |
Editor | : | Khaerunisa |
KOMENTAR