“Artsakh (Karabakh) adalah Armenia. Titik.”
Punya tafsir sejarah masing-masing
Hingga kini kedua negara merawat tafsir sejarah versi masing-masing yang fokus membahas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan masing-masing lawan, serta melewatkan sejarah kekejaman sendiri.
Armenia misalnya mengenang pembantaian Sumgait di Azerbaijan, ketika kerusuhan massal pada Februari 1988 menyisakan 26 korban jiwa warga etnis Armenia.
Tapi di Khojaly, 1992, Armenia menembaki warga sipil yang berusaha melarikan diri dalam sebuah pembantaian, yang menurut Azerbaijan, menewaskan ratusan orang.
Sejak gencatan senjata berakhir pada ketegangan terakhir tahun 2016 silam, “proses perundingan damai dihentikan melalui komunikasi yang dilakukan dalam retorika yang penuh amarah,” tulis seorang analis di lembaga penelitian, International Crisis Group.
Adapun keterlibatan Turki, memicu dendam sejarah bagi Armenia yang menuduh Ankara berusaha mengingkari tanggung jawab Kesultanan Ottoman dalam pembantaian etnis Armenia pada 1924, yang ditaksir menewaskan hingga 1,5 juta orang.
Meski demikian analis meyakini tafsir nasionalistik terhadap sejarah tidak memupus budaya kehidupan damai antara kedua bangsa selama kekuasaan Uni Soviet.
“Seseorang sebaiknya mencetak ulang naskah Perjanjian Persahabatan 1724 di era Persia dan ditandatangani oleh penguasa Karabakh dari Armenia dan Khan Ganje di Azerbaijan untuk melawan Kesultanan Ottoman,” ujar Tom de Waal, peneliti senior di Carnegie Europe, usai perang mulut antara Aliyev dan Pashinyan dalam Konferensi Keamanan di München.
(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sikap Saling Klaim Sejarah, Halangi Perdamaian Antara Armenia dan Azerbaijan"
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR