Ini telah didahului oleh deklarasi terbuka Pashinyan pada Agustus 2019 bahwa "Nagorno-Karabakh adalah Armenia," dengan demikian menegaskan kembali tujuan strategis penyatuan, yaitu perluasan wilayah.
Dengan jalan buntu dalam proses negosiasi dan peningkatan postur militer, Azerbaijan tidak punya pilihan selain menggunakan kekuatan, yang merupakan haknya berdasarkan bab 51 Piagam PBB.
Ini jarang disebutkan dalam laporan yang bias tentang status konflik.
Perkembangan terkini di lapangan dengan demikian digambarkan di beberapa bagian media Barat dengan beberapa klise dan stereotip yang mengakar dengan bantuan penulis pro-Armenia.
Selain membingkai konflik sebagai konflik agama, pemerintahan Pashinyan juga mengedepankan narasi demokrasi vs otokrasi.
Gagal menyebutkan bahwa Pashinyan telah memenjarakan lawan politiknya; tetap bungkam atas fakta bahwa retorika populis dan semakin ultranasionalisnya secara konsisten kehilangan visi tentang bagaimana mengakomodasi pengungsi Azerbaijan dan pengungsi internal (IDP) yang ingin kembali ke rumah mereka, dan gagal menyebutkan bahwa pendudukan Armenia telah mengakibatkan pembersihan etnis total dan lengkap dari penduduk Azerbaijan sebelum perang.
Gagasan memutarbalikkan kebebasan khusus untuk orang Armenia ini mengingatkan pada ideologi supremasi kulit putih yang mengandaikan pemusnahan fisik non-kulit putih.
Di sisi lain, setelah ledakan kekerasan antara kedua negara di Tovuz pada bulan Juli, publik di Azerbaijan, yang akhirnya kecewa dengan prospek penyelesaian diplomatik yang sekecil apa pun, melakukan demonstrasi besar-besaran di Baku, menuntut agar pemerintah mengatasi masalah diplomatik jalan buntu dan bertindak melawan Armenia.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR