“Ini adalah perwira yang sama yang mempertahankan kebijakan ekspansionis di Laut Aegea, Mediterania, dan laut lainnya, dan mempromosikan perjanjian maritim dengan Libya," tambahnya.
Tanir melanjutkan bahwa hubungan antaranggota aliansi itu, saling menguntungkan, karena Erdogan menerima persetujuan untuk kebijakannya di Libya dan pensiunan perwira militer mendapatkan pengakuan, pengaruh, dan selebriti.
Tanir mengatakan kepada The Arab Weekly bahwa sejak percobaan kudeta pada 2016, “Erdogan telah mampu menekan oposisi di media, tentara dan negara, dan ketika mantan Kepala Staf Hulusi Akar menjadi Menteri Pertahanan, Erdogan memperoleh kendali yang lebih besar atas tentara.
"Jadi, Erdogan tidak mengadopsi dasar-dasar pengawasan dan keseimbangan di jajaran sipil atau militer," kata Tanir.
Henri J.Barkey, profesor hubungan internasional di Universitas Lehigh di Amerika Serikat, memperkirakan konfrontasi di Laut Mediterania akan meningkat, jika Turki yang memiliki kekuatan angkatan laut dan tentara yang signifikan di kawasan itu, tetap bersikukuh pada ambisi mereka mengenai kekayaan Mediterania Timur.
Barkey, yang menjabat sebagai asisten peneliti senior untuk studi Timur Tengah di Dewan Hubungan Luar Negeri AS, mengatakan tidak menutup kemungkinan bahwa wacana menantang Erdogan bertujuan untuk mencoba mendorong pihak lain di Mediterania untuk memasukkan Turki dalam negosiasi tentang berbagi sumber daya daerah tersebut.
Namun, agak tidak mungkin terjadi bila mengingat hukum internasional berpihak pada Yunani. Pada Kamis, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan bahwa tujuh negara Mediterania menginginkan "dialog dengan itikad baik" bersama Turki, yang memimpin kebijakan ekspansionis di Mediterania.
Dia merujuk pada "keinginan untuk memulai dialog yang bertanggung jawab dan menemukan keseimbangan, tanpa kenaifan dan dengan niat baik."
Penulis | : | Maymunah Nasution |
Editor | : | Maymunah Nasution |
KOMENTAR