“Saya tidak bisa apa-apa lagi, diam saja,” kenang Lettu (Purn.) Kusmari, salah satu peterjun Operasi Serigala tentang penangkapan dirinya di Sungai Kais. Di saat lain, ketika perang usai dan pasukan ditampung sebelum dipulangkan, Kusmari dikunjungi seorang perwira bule.
Perwira itu menyampaikan kekagumannya melihat semangat juang prajurit APRI, dan bagaimana bergerilya di hutan yang ganas dan perawan. Salah satu ucapan bule itu yang terus dikenangnya: ‘Kalian dikorbankan demi kemenangan di meja perundingan.’
“Hati saya sedih, kami dikorbankan,” ujar Kusmari.
Tak tahu ada gencatan senjata
Pelbagai operasi terus dilancarkan menjelang pertengahan 1962. Kebanyakan misi penerbangan sebenarnya diketahui Belanda. Pasukan Indonesia pun tahu hal itu. Maka yang selalu mereka lakukan adalah menggunakan taktik dan mengandalkan keterampilan para penerbang dan navigatornya.
Demikian pula para penerjun yang berbulan-bulan menjadi gerilyawan. Jumlah yang cedera tak terhitung, yang jadi korban pun tidak sedikit.
Di kancah diplomasi, pada 15 Agustus 1962, pukul 18.30 di Markas Besar PBB di New York, Belanda menyatakan kesediaannya menyerahkan kekuasaan atas New Guinea Barat kepada Indonesia.
Tapi akibat kesenjangan komunikasi dan jarak, mereka yang di lapangan tidak banyak yang tahu peristiwa itu. Pesawat Belanda masih mengintai, dan pasukan APRI juga masih bergerilya. Barulah secara bertahap perang berakhir dalam pantauan pasukan di bawah bendera UN Security Force in New Guinea.
Tanggal 22 November 1962, gelombang terakhir tentara Belanda meninggalkan New Guinea Barat. Sejak itu, Irian Barat sepenuhnya di bawah kekuasaan Republik Indonesia.
(Dicukil dari buku 52 Tahun Infiltrasi di Irian Barat Terbitan Majalah Angkasa, oleh Mayong S. Laksono, dan dimuat di Majalah Intisari edisi Juli 2014)
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR