Advertorial

Artikel Opini: Zaman Bergegas dan Melambat

None
,
Yoyok Prima Maulana

Tim Redaksi

Dunia terus menerus bergegas dan melambat dalam satu kurun waktu. Bergegas untuk menemukan cara agar memperpanjang usia dunia.
Dunia terus menerus bergegas dan melambat dalam satu kurun waktu. Bergegas untuk menemukan cara agar memperpanjang usia dunia.

Penulis:Tiyas Nur Haryani (Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret)

Intisari-Online.com - Ada yang menarik pada petuah orang tua dulu saat membangunkan saya dari tidur kala pagi hari. Bangunlah, jika tak bergegas, rejekimu akan dipatuk ayam. Lalu saya akan menyahut, “Lima menit lagi, Bu”, sembari tetap melanjutkan tidur.

Kiwari, petuah itu mengusik saya secara tekstual. Para orang tua sudah menggunakan ayam sebagai metafora untuk bergegas. Lantas, saya membayangkan sebuah zaman di mana para ayam tidak dikurung dalam kandang.

Mereka masih tidur di atas pohon untuk menghindari predator alaminya. Hingga saat fajar tiba, para ayam bangun untuk mencari makan di ladang. Mungkin itulah zaman berburu dan meramu yang dialami moyang kita dahulu.

Kemudian datanglah zaman di mana para ayam mulai dikandangkan dan diternak untuk konsumsi penduduk. Zaman itu berada di era Revolusi Industri I. Nama Revolusi Industri I muncul pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19.

Kegiatan produksi yang sebelumnya digerakan oleh tenaga hewan, angin dan air mulai digantikan dengan batu bara. Lalu, penemuan-penemuan baru bermunculan pada era ini seperti pengelolaan besi, batu bara, mesin uap, alkali dan utamanya adalah mesin tekstil.

Dari mesin-mesin tekstil baru inilah keadaan sosial, ekonomi dan politik dunia berubah dengan drastis. Sistem kapitalisme berikut kelebihan dan keburukannya nyata pada zaman Revolusi Industri I ini. Produksi mesin yang makin cepat menyebabkan orang bergegas.

Bergegas dan Melambat

Namun Zaman Revolusi Industri I ini ternyata mengalami kelambatan di kemudian hari. Penyebab utamanya adalah wabah kolera dan polusi. Masyarakat pada era Revolusi Industri I tidak siap menghadapi lonjakan penduduk kota yang berujung dengan buruknya sanitasi.

Polusi terjadi karena pencemaran dari teknologi pengelolaan batu bara dan alkali yang belum semaju sekarang. Sungai-sungai dan mata air tercemar. Kombinasi wabah kolera dan polusi ini sanggup memperlambat laju Revolusi Industri I.

Baru pada tahun 1850-1870 perlambatan pada Revolusi Industri I dapat dicepatkan kembali. Sanitasi, pembangunan jalan air serta tata kelola limbah padat dan cair diperhatikan betul. Air untuk konsumsi disaring, dimasak bahkan diberi klorin.

Sistem manajemen pada tiap lini terbarui. Penemuan-penemuan baru kembali bermunculan. Zaman itu dikenal dengan Revolusi Industri II. Titik awal penemuan utama di zaman itu adalah rekayasa teknologi besi dan baja.

Dari titik awal itu, penemuan seperti, kereta api, rel, kapal, listrik dan pesawat tempur muncul. Penemuan pada model mobil, ban dan telekomunikasi juga terjadi pada tahap selanjutnya. Jalan semakin bagus, mobil semakin cepat.

Kabar pun semakin cepat sampai ke khalayak ramai lewat telepon dan radio (Mokyr dan Strotz, 2003) . Sistem pencegahan carrier pembawa virus dan bakteri sudah canggih pada masanya. Zaman kembali bergegas.

Pada titik tersebut, semuanya yang tampak baik-baik saja lantas muncul Perang Dunia I. Masyarakat dunia saat itu tak menyangka kalau Revolusi Industri II bakal menemuni kelambatan. Begitulah, zaman bergegas dan melambat. Revolusi Industri II berhenti pada tahun 1914.

Kondisi zaman pada saat itu semakin parah karena wabah influenza pada tahun 1918. Diperkirakan, 50 juta orang meninggal karena virus berkode H1N1 ini (CDC, 2019). Setelah wabah memudar pada tahun 1920, terma bergegas dan melambat menemukan paradoksnya.

Masyarakat bergegas agar hidup semakin sehat sekaligus melambat. Melambat agar usia mereka semakin panjang. Setelah tahun 1920, nyatanya selalu ditemui era yang bergegas lalu melambat. Sebagai contoh adalah Masa Depresi Besar, Perang Dunia II, booming serta krisis minyak bumi, gelembung ekonomi dan pemanasan global.

Dunia terus menerus bergegas dan melambat dalam satu kurun waktu. Bergegas untuk menemukan cara agar memperpanjang usia dunia. Memperlambat agar es di bumi tidak cepat mencair. Begitu terus hingga zaman sekarang, era Revolusi Industri 4.0.

Sebelum ke Revolusi Industri 4.0, kita melalui Revolusi Industri 3.0 yang ditandai dengan komputerisasi dan otomatisasi pabrik sebagai penunjang manusia. Revolusi Industri 4.0 ditandai dengan komputerisasi dan otomatisasi yang lebih cepat dalam menunjang kerja manusia.

Era Revolusi Industri 4.0 juga ditandai dengan Big Data. Menurut Kamus Cambridge, Big Data adalah sejumlah besar data yang dikumpulkan dari para pengguna internet (netizen) sedunia. Data bisa berupa kebiasaan para netizen dalam menggunakan internet.

Data ini kemudian disimpan, dikelola lalu digunakan untuk kepentingan tertentu. Lebih mudah memahami adalah interaksi kita di dark social (aplikasi Whatsapp, Line, Email, Telegram dll.) dan social media (Instagram, Facebook, Twitter dll.) dapat terhubung langsung untuk diketahui Google.

Seumpama kita mencari tahu di dark social dan social media tentang sepatu, maka iklan di Google berisi mengenai alas kaki tersebut. Secara sederhana begitulah cara kerja Big Data.Secara lebih jauh, Big Data ini dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan dunia yang lebih rumit.

Sebegitu rumitnya masalah sosial ekonomi politik global sehingga saat filsuf Jurgen Habermas dan teolog Joseph Ratzinger (kemudian menjadi Paus Benedict XVI) berdiskusi di Munich pada tahun 2004 banyak pertanyaan belum terjawab.

Dua pemikir besar ini menyebut orang-orang zaman ini adalah masyarakat Post Secular. Dalam Post Secular tidak ada dominasi di antara politik, ekonomi dan sosial.

Semua sisi harus berkembang bersama jika ingin menjadi besar. Tidak bisa meninggalkan satu sisi. Jika ingin bergegas, haruslah bersama.

Pandemi Baru

Hal yang sama dalam fenomena bergegas dan melambat kembali terjadi di masa Revolusi Industri 4.0. Dunia yang kemarin terasa begitu cepat; kerja, kerja dan kerja. Para pekerja dibuat seperti robot yang terdisrupsi dari aktivitas sosialnya di dunia nyata.

Kompetisi sebagai bagian yang mencemaskan di era yang harus serba cepat ini, tanpa kita waspadai dengan cermat nyatanya tiba-tiba dunia kembali melambat.

Pandemi global virus SARS-Cov-2 seakan mengulang kembali kejadian serupa saat H1N1 menyerang. Manusia harus terkurung atau mengurung diri di dalam rumahnya. Aktivitas sosial, ekonomi industri melambat di tingkat lokal, regional, nasional hingga Internasional.

Mereka yang awalnya selalu bergegas sekarang ikut rebahan sebagai kondisi yang dapat dipinjam dari keadaan normal sebelumnya dalam menggambarkan cara memperlambat keadaan yang bergegas dewasa ini.

Kemarin, tak kita pungkiri bahwa dalam tuntutan yang serba cepat kita juga ingin rebahan, karena zaman bergegas di Revolusi Industri 4.0 telah mendisrupsi kehidupan. Pada akhirnya pandemi memberi jeda bagi semuanya untuk kembali ke titik yang lambat dan menyelami kehidupan rasional spiritualnya.

Kekuatan dari Revolusi Industri 4.0 sangat diharapkan menjadi penyelamat dunia dewasa ini. Revolusi Industri 4.0 dengan teknologinya sangat berguna dalam pengambilan keputusan agar tidak jatuh semakin banyak korban dan menghindari runtuhnya kartu domino di segala sektor kehidupan.

Seharusnya dengan teknologi komunikasi dan informasi serta Big Data akan membantu proses pengambilan keputusan dari pemetaan berbagai macam informasi.

Selain itu hubungan Internasional dan kerjasama berbagi informasi mampu mempercepat penanganan pandemi untuk menemukan vaksin. Semoga seluruh stakeholder dan masyarakat secara beriringan dan sejalan mampu melewati wabah ini.