Saat rukuk, terdengar teriakan takbir disusul suara tembakan. Sanusi menembakkan pistol ke arah Soekarno.
Beruntung, peluru tersebut gagal meluncur ke arah Soekarno.
Kendati demikian, sejumlah jamaah salat Idul Adha mengalami luka akibat tertembak di bahu dan punggung.
"Penembakan yang dilakukan dari jarak sekitar 7 meter (penembak berada di saf ketujuh), meleset," begitu penjelasan dalam buku itu.
Hal ini terlihat mustahil lantaran Sanusi merupakan penembak jitu alias sniper andalan DI/NII.
"Jalan kematian memang bukan kuasa manusia," tulis buku itu.
Namun, berdasarkan pengakuan Sanusi, pandangannya mendadak kabur saat akan menembak.
Yang dilihatnya adalah bayang-bayang sosok Soekarno yang bergeser-geser, dari satu posisi ke posisi lain.
"Karena itulah, tembakannya pun menjadi ngawur," tambah buku tersebut.
Dalam sidang, Sanusi Firkat alias Usfik, Kamil alias Harun, Djajapermana alias Hidajat, Napdi alias Hamdan, Abudin alias Hambali, dan Mardjuk bin Ahmad Dijatuhi hukuman mati.
Selain menangkap mereka, pemerintah saat itu juga berhasil menangkap Kartosoewiryo.
Kartosoewiryo ditangkap tentara Siliwangi saat bersembunyi di dalam gubuk yang ada di Gunung Rakutak, Jawa Barat,4 Juni 1962.
Vonis mati dijatuhkan kepada Kartosoewiryo.
Soekarno menolak grasi mantan sahabatnya itu, sehingga Kartosoewiryo pun tetap dieksekusi mati.
Meski begitu, Soekarno bertanya kepada regu tembak pasca eksekusi itu dilakukan.
"Bagaimana sorot matanya? Bagaimana sorot mata Kartosoewiryo? Bagaimana sorot matanya?" tanya Soekarno.
Mendapatkan pertanyaan itu mereka pun menjadi bingung.
Meski demikian, seorang ajudan spontan menjawabnya.
"Sorot mata Kartosoewiryo tajam. Setajam tatapan harimau pak," jawabnya.
Mendapatkan jawaban seperti itu, Soekarno lantas bernafas lega, dan melempar tubuh ke sandaran kursi,
Tak lama setelah itu, Soekarno pun mendoakan keselamatan arwah Kartosoewiryo. (Nieko Oktavi S)
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR