Advertorial
Intisari-Online.com – Es kering dewasa ini sudah tidak aneh lagi, sebetulnya. Cuma istilahnya saja yang masih suka-suka disenyumi. Mana ada es kering, meskipun ada?
Tapi kalau orang yang sama itu bilang "dry ice", maka ia tidak jadi disenyumi, karena terasa bahwa "ini bukan kelakar"!
"Dry ice" memang ada. Tapi ia bukan air yang dibekukan menjadi es, melainkan Karbondioksida yang dipadatkan. Bentuknya seperti butiran-butiran es batu, dan dinginnya juga seperti es beku.
Kalau butiran-butiran padat ini dibiarkan di udara terbuka, ia akan menguap menjadi gas lagi, sambil menyerap panas dari udara sekelilingnya, sampai udara sekelilingnya jadi dingin sekali.
BACA JUGA:Dari Es Krim Telur Buaya Sampai Es Krim Daging Kuda, Inilah 5 Rasa Es Krim Teraneh. Berani Coba?
Kalau peristiwa ini disuruh terjadi dalam kotak (lemari, atau gerbong) penyimpan bahan yang ingin didinginkan, maka bahan inipun dengan mudah bisa dibekukan. Titik sublimasinya - 78,9° C, sehingga keampuhannya mendinginkan jauh lebih besar daripada es air biasa.
Dan bagusnya lagi, ruangan yang bersangkutan tidak basah. Karena itu, "es" inipun dipanggil "kering"
Siapa yang mail pakai?
Yang sudah lama pakai ialah para produsen bahan makanan yang menyimpannya dalam keadaan beku, seperti para penghasil es krim misalnya, udang beku, dan Iain-lain produk beku.
Belakangan malah juga benih-benih tanaman, yang disuruh tidur .dulu sebelum dikecambahkan di pesemaian musim tanam tahun berikutnya.
Dalam kehidupan kita sehari- hari, baru para penjaja es krim merk tertentu saja yang kini sudah menggunakan es kering, dalam kotak-kotak diatas tempat begasi belakang kereta mesinnya (sepelda, istilah lainnya, atau piet).
Dulu, kotak es krim di belakang piets ini dibekali sejumlah es batu untuk mempertahankan suhu dinginnya, supaya es krimnya jangan cepat-cepat meleleh. Tapi tidak begitu berhasil, karena titik beku es itu sebenarnya cuma 0° C saja.
Setelah dijajakan kian kemari selama beberapa jam, es batu pendingin itu sudah banyak yang mencair. Dan es krimnyapun ikut meleleh seperti bubur.
Tapi kalau para penjaja es krim itu menaruh satu dua butir es kering diatas tumpukan es batunya (dalam kotak begasi belakang kereta mesinnya), maka es batu ini bisa lebih lama bertahan sebagai batu terus. Es krimnyapun bisa lebih lama bertahan sebagai batu juga.
BACA JUGA:Kreatif! Kritik Pencemaran Air, Mahasiswa Ini Bikin Es Krim dari Tempat yang Tercemar. Berani Coba?
Juga benih tanaman
Sukses penjajaan es krim ini hendak ditiru oleh fihak-fihak lain yang berkepentingan benar dalam usahanya membekukan bahannya. Terutama dalam pengangkutan ke alamat-alamat yang memerlukan bahan itu.
Para penjual benih tanaman misalnya, yang sudah susah-susah menyimpan benihnya dalam cold storage, dengan harapan agar kekuatan tumbuhnya masih tetap besar seperti semula, dulu-dulu selalu menyimpan benih hanya dalam ruangan yang ditekan kelembaban dan suhunya dengan kapur sirih atau garam dapur dan mesin pendingin saja.
Dengan kelembaban dan suhu yang cukup rendah, benih-benih itu memang bisa awet tetap. bagus, karena bisa "tidur" istirahat.
Tapi ketika diangkut ke tempat tujuan, ternyata bungkusnya sering begitu buruk, sehingga sejak itulah benih cepat mundur mutunya, dan tidak bisa dipang-gil benih unggul lagi.
Kemudian ada es kering. Karena sifatnya yang menguntungkan bagi keperluan pengawetan benih ini, (yaitu bisa mendinginkan, tapi tidak basah, sehingga tidak menaikkan kadar kelembaban), para pengusaha benih menaruh harapan yang besar pada es kering.
Disamping menciptakan suhu rendah dan kelembaban minim, gas karbondioksida yang menguap itupun bisa mengurangi proses metabolisme dalam benih, sehingga benih bisa beristirahat benar-benar.
Dan kalau dalam pengangkutannya ke tempat para petani yang memesannya juga digunakan es kering sebagai "pengawal perjalaan", maka tugas-tugasnya yang positif itu masih bisa berlanjut sampai hari H penyemaian.
Benih yang kita anggap unggul itupun bisa benar-benar tetap unggul, waktu disemaikan.
Kemungkinan untuk ikan
Sukses es kering yang kita baca dalam pelbagai media massa (termasuk majalah hiburan pusparagam pakai sticker), pemah juga mau ditiru dalam pengangkutan ikan segar.
Biasanya ikan-ikan ini diangkut dalam keranjang berlapiskan daun pisang, atau peti-peti kayu bersekat polystyrena (sejenis bahan penyekat yang kini sedang populer beredar di mana-mana), yang dibekali sejumlah es batu yang cukup sebagai pengawet dan pencegah kerusakan.
Perbandingan ikan dan es harus 1 : 2 . Baru dianggap cukup!
Sayang seribu sayang, jumlah es batu ini suka-suka dikurangi, sedang peti pengangkutnyapun seringkali kurang bagus penyekat dindingnya, sehingga mutu ikan segar yang diangkutnya merosot sekali, setibanya di pasar konsumen.
Es batunya sudah meleleh sampai kuyup, dan tidak bertugas sebagai pengawet lagi.
Sebenarnya bukan salah esnya, kalau dia meleleh dan memerosotkan mutu ikan. Mestinya ya kitalah yang harus mengusahakan agar jumlahnya cukup, sedang peti pengangkutnya tidak ngowos.
Tapi bagaimana kalau kita pakai es kering juga?
Dari hasil percobaan yang dilakukan Lembaga Tehnologi Perikanan kita di Jakarta ternyata, bahwa pelaksanaannya tidak semudah usaha pendinginan pada pengangkutan es krim.
Sebab, salah-salah ikan yang diberi es kering bisa kontan beku. Padahal keadaan membeku ini tidak diinginkan selama ikan itu masih ingin kita pertahankan (dan golongkan) sebagai ikan segar.
Karena itu, es kering yang dibubuhkan (yang ditaruh dalam wadah tersendiri, terpisah dari timbunan ikan dan es batu), mesti diperhitungkan dengan cermat, supaya jumlahnya sudah bisa bikin awet es batu pendingin ikan itu, namun tidak sampai bikin beku ikan yang bersangkutan.
Suhu yang dikehendaki hanya antara - 1,1° C dan - 2,2° C saja, di pusat daging ikan.
Bagi peti berisi 35 kg ikan yang diberi es batu basah 70 kg, hanya diperlukan 3,4 kg es kering saja, selama masa angkut 30 jam.
Dalam percobaan Lembaga Tehnologi Perikanan diatas, ternyata pula, bahwa es kering yang dibubuhkan sebagian-sebagian secara bertahap, tiap 8 jam sekali, bisa mengurangi kemungkinan beku ikan, sedang pada akhir perjalanan ternyata masih lebih banyak es keririg yang menyisa, daripada seandainya jumlah totalnya dibubuhkan sekaligus pada saat sebelum berangkat.
Yang harus extra kita perhatikan pada penggunaan es kering ini ialah konstruksi pengangkutnya. Ini. mesti mutlak berupa peti yang dindingnya bersekat paling sedikit senilai 1 inci polystyrena. Kalau tidak, penggunaan es kering itu percuma saja.
Soalnya, ada dua syarat yang harus dipenuhi. Yaitu harus bisa menaruh es kering dalam kotak plastik (yang berlubang-lubang) di langit-langit wadah, supaya bisa berada diatas tumpukan es, namun tidak berhubungan langsung dengan ikan, (dan ini baru bisa, kalau digantungkan pada tutup peti sebelah dalam, sehingga kalau kita pakai keranjang bambu atau wadah lain yang langit-langitnya tidak seperti peti, ya rada runyam), dan kedua, tidak boleh ngowos meloloskan gas karbondioksida menguap keluar dari wadah pengangkut.
Sayang masih mahal
Kekecewaan lain, dalam penggunaan es kering ini bagi ikan segar, ialah tambahan beaya yang mesti kitakeluarkan.
Harga es kering yang dihasilkan pabrik-pabrik gas karbondioksida Indonesia masih begitu mahal, (kira-kira 10 kalinya es basah), sampai harga jual ikan segar yang di es keringkan jadi mahal. Salah-salah bisa tidak ada yang mau beli lagi, nanti.
BACA JUGA:Ekstrem! Restoran Ini Sajikan Sushi di Atas Tubuh Manusia, Ternyata Sudah Tradisi, Lo!
Kalaupun ada investor yang mau terjun ke bidang pengangkutan ikan segar secara besar-besaran (umpamanya), maka dipikir-pikir masih lebih ekonomis pakai truk pendingin yang dijalankan dengan mesin saja, daripada pakai es kering, meskipun tempo-tempo truknya mogok ditengah sawah (sampai macet juga, segalaga-lanya!)
Sebaliknya, masyarakat pengecer ikan segar bermodal kecil, seperti para penjaja es krim juga, lebih mengangan-angankan semoga es kering ini saja yang bisa lekas murah, daripada mendoakan murahnya truk-truk mini bergerbong dingin.
Yang lain, barangkali?
Para penjual ayam potong dan sayur mayur mewah, lain lagi ceritanya. Karena ingin menyampaikan ayam sembelihannya (atau sayurannya) dalam keadaan segar (dan tidak sampai beku!), mereka lebih cenderung pakai karbondioksida cair saja, yang lebih murah ongkos produksinya daripada es kering.
Cairan ini dibuat dari gas karbondioksida yang tidak dimampatkan sampai jadi padatan beku, melainkan sampai jadi cairan saja, sehingga tenaga (dan ongkos) yang diperlukan juga lebih sedikit.
Tapi kemudian, setelah ternyata ada bahan lain yang bisa lebih cepat mendinginkan (yaitu Nitrogen cair), orangpun dengan cepat beralih ke bahan baru ini.
Sayang, bahwa untuk menggunakan cairan ini perlu alat penyemprot jet bertekanan tinggi, yang tidak sederhana konstruksinya.
Cairan yang disemprotkan ke karton-karton berisi ayam potong (atau bahan makanan lain), akan membentuk embun halus seperti salju, yang mesti dikipasi lebih Ian jut dengan kipas yang kuat, supaya menguap dan mendinginkan karton berikut isinya secepat kilat, dalam tempo beberapa detik saja.
Dan dalam bentuk bungkusan bersalju (sedikit-sedikit), yang sebagian sudah menguap dingin ini, ayam-ayam pot itu bisa didistribusikan ke tempat-tempat konsumen dalam keadaan tetap segar, selama beberapa jam.
BACA JUGA:Allan Ganz Si Pemegang Rekor Karier Terpanjang di Dunia, Dia Sudah Berjualan Es Krim Selama 70 Tahun
Ultra rapid freezing unit ini terang hanya praktis bagi pabrik-pabrik pengolahan saja, dan jelas masih mustahil dibawa-bawa buat mengangkut bahan makanan eceran, dari pintu air ke pintu besi.
Barangkali kalau nanti (sebentar tahun lagi) ada yang berhasil menciptakan peti pengangkut kecil yang dilengkapi penyemprot mini, yang secara automatis bisa menyemprotkan persediaan Karbondioksida (atau Nitrogen) cair secara berkala, tiap 2 jam sekali, misalnya, mungkin para dealer (juragan duduk) ayam pot dikota-kota besar bisa diperkaya lagi dengan satu cara penjajaan ayam segar yang mutakhir dan efisien.
Tapi bagi para penjaja bahan makanan eceran di jalanan, yang paling masuk akal bisa mereka lakukan adalah cara pengangkutan dengan es basah dan es kering.
Dan inilah yang naga-naganya membuat pabrik-pabrik minyak dan gas bumi kita yang kelebihan gas buangan (hasil ikutan) karbondioksida, menghadapi pilihan yang berat. Bikin es kering, atau tidak?
Untuk memutuskan: "Bikin!", mesti ada bukti hasil survey dan ramalan pemasaran dulu (semacam ramalan cuaca, tapi bukan!), bahwa masyarakat pengecerkita betul-betul cukup banyak yang bakal pakai es kering.
Ataukah pemakaian es kering ini cuma terbatas pada sejumlah kecil kaum pengecer es krim saja? (Slamet Soeseno – Intisari April 1976)
BACA JUGA: Hanya Makan Es Krim, Pria Ini Bisa Turunkan Berat Badan 14 kg dalam 100 Hari, Sehatkah?