Setelah mendengar kabar tersebut, para awak kapal Zeven Provincien menggelar rapat untuk melakukan pemogokan.
(Baca Juga: Hartini Soekarno, Ratu Tanpa Mahkota yang Kapok Tinggal di Istana Bogor Meski Sudah Memberinya Kenangan Indah)
Mengetahui kabar pemogokan itu telah tersiar, komandan dan para awak kapal melakukan breafing.
“Saya harap jangan sampai kalian meniru contoh yang jelek untuk mengadakan pemogokan juga dikapal ini dengan alasan bahwa kalian tidak dapat menyetujui penurunan gaji,” kata Eikenboom, komandan kapal tujuh.
Pidato ancaman tersebut tidak menurunkan semangat perlawanan para awak kapal.
Dua awak kapal berdarah Indonesia, Paraja dan Rumambi memimpin sebuah gerakan untuk melakukan pemberontakan di atas kapal.
Para awak kapal berdarah Indonesia ini bekerja sama dengan para pelaut Belanda yang setuju dengan rencana pemberontakan tersebut.
(Baca Juga: Seperti Ombak Mencintai Pantai, Begitulah Kasih Inggit Garnasih ke Bung Karno yang Berakhir Pilu)
Pada 4 Februari 1933, pemberontkan dimulai dengan para awak kapal mengambil alih kendali kapal dari tangan pelaut Belanda.
Pemberontakan ini dipimpin oleh Paraja dan Gosal yang merupakan pelaut asal Indonesia, sedangkan dari Belanda dipimpin oleh Boshart dan Dooyeweerd.
Mereka membawa kapal berlayar menuju Surabaya.
Selain itu, mereka juga menyiarkan pemberontakan ini dalam siaran pers dalam tiga bahasa, yaitu Belanda, Inggris, dan Indonesia.
Penulis | : | Aulia Dian Permata |
Editor | : | Aulia Dian Permata |
KOMENTAR