Intisari-online.com - U-boat atau dalam Bahasa Jerman ditulis U-Boot, merupakan kependekan dari Unterseeboot, bermakna undersea boat beroperasi di bawah permukaan laut.
Istilah yang lebih mudah dan familiar di telinga kita, adalah kapal selam. Perang U-Boot atau perang periode Perang Dunia II.
Jerman menjadi biang terjadinya perang kapal selam, karena negeri Sang Fuhrer mengerahkan armada kapal selam dalam jumlah banyak untuk menggempur jalur suplai logistik kapal-kapal Inggris.
Selama enam tahun PD II (1939-1945), Jerman mengerahkan lebih seribu kapal selam untuk menghalau Inggris di lautan. Perang U-boat paling fenomenal terjadi di medan Atlantik atau biasa disebut Pertempuran Atlantik (Battle of Atlantic) pada 1942-1943.
BACA JUGA: Operasi Cakra, Misi Senyap Kapal Selam Indonesia Saat Merebut Papua
Di palagan laut ini kapal-kapal selam Jerman mengamuk dan berhasil menenggelamkan 3.500 kapal dagang, 175 kapal perang, 14 juta ton kargo, dan lebih dari 36.000 pelaut Inggris hingga ke dasar lautan. Inggris juga kehilangan 741 pesawatnya dalam pertempuran ini.
Berperang melawan Inggris dan sekutunya, bukan berarti Jerman tidak mengalami kerugian. Jerman bahkan harus rela kehilangan hampir 800 U-boat akibat dihancurkan musuh serta lebih 30.000 pelaut dari total 38.000 yang diturunkan AL Jerman (Kriegsmarine) tak kembali lagi ke pangkalan.
Kerugian yang dialami Jerman plus kerugian yang diderita Inggris serta sekutunya, menjadikan Pertempuran Atlantik sebagai salah satu kancah peperangan terpanjang yang mengakibatkan kerugian terbesar.
Perang kapal selam di sini memang tidak hanya berarti perang yang dilakoni oleh kelompok kapal selam saja, namun juga melibatkan kapal perang permukaan serta pesawat pengebom dari udara.
BACA JUGA: Hebat! Pilot Tempur Indonesia Ternyata Nyaris Tembak Jatuh Jet Tempur Australia
Diberangus dari udara
Pada tahap awal pertempuran, Jerman meraih kemenangan yang besar dengan mengaramkan kapal-kapal Inggris dan Amerika Serikat.
Armada kapal selam Jerman berhasil memorak-porandakan kapal-kapal suplai logistik Inggris. Atas kegetiran tersebut, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill usai perang mengakui dalam pidatonya.
Penulis | : | Yoyok Prima Maulana |
Editor | : | Yoyok Prima Maulana |
KOMENTAR