"Apa kamu pernah berinisiatif menjaga anakmu sebentar agar istrimu bisa ke salon melakukan perawatan?"
"Atau apa kamu mau sekedar membantunya menjemurkan kain saat pinggangnya sudah serasa hampir patah habis nyuci segerobak?"
"Dan apa pernah kamu tanya dia sudah makan atau belum?"
"Dia capek perlu dipijit atau tidak?"
"Hanya dia yang bertanya seperti itu padamu, walaupun dia ingin sekali kamu tanya demikian."
Adam tertegun, terdiam sambil melihat kedua anak nya yang dalam waktu sebentar sudah berhasil membuat rumah nenek mereka menjadi lapangan bola.
Semua benda berjatuhan terkena tendangan bola, karena tidak ada yang mengawasi selama Ibu menasehati Adam.
Dia baru sadar bahwa jerih payah seorang istri tak bisa dibayar dengan apapun, perjuangan seorang istri tak tergantikan oleh apapun.
Tak ada yang mampu setegar dan sehebat seorg istri.
Air matanya hampir menetes jika teringat saat dia pulang kantor, dia membangunkan istrinya yang baru terlelap untuk membuatkan secangkir teh.
Walaupun mungkin istrinya lelah dan mengantuk, dia tetap bangun dengan ceria dan membuatkan teh untuk suaminya yang tidak tahu kelelahannya.
Adam ingin kembali ke rumah untuk meminta maaf kepada istrinya dan saat dia membuka pintu.
Dia melihat istri nya sudah ada di depan pintu dan langsung memeluknya.
Istrinya juga menangis...
"Maafkan aku sayang..." kata Adam sambil menangis.
(Intisari-Online.com/Adrie P. Saputra)
Source | : | |
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Tatik Ariyani |
KOMENTAR