Tak hanya bebersih bantaran, mereka juga menaburkan ikan ke sungai. Ada ikan patin dan ikan gabus. Ini untuk menyeimbangkan ekosistem sungai. Sore itu, dari pinggiran sungai terlihat banyak ikan-ikan berlompatan. “Itu ikan sapu-sapu. Paling bisa bertahan di air yang tercemar. Tapi sekaligus merusak dinding sungai karena bikin lubang-lubang,” kata Harpi sambil menunjuk pada lubang-lubang besar di dinding seberang sungai.
Jika pada awalnya sampah-sampah itu didaur ulang, kini dijadikan bahan ecobrick. Bata ramah lingkungan. “Soalnya kalau didaur ulang, ada kemungkinan nanti akan menjadi sampah lagi. Terlebih kebanyakan sampah yang ada adalah sampah plastik yang relatif susah didaur ulang,” terang Harpi.
Baca Juga: Ecobricks, Solusi Pengelolaan Plastik Tanpa Mencemari
Meski berembel-embel batu bata, ecobrick yang merupakan penggabungan kata ‘eco’ dan ‘brick’, bukanlah seperti batu bata dalam bayangan kita. Berbentuk kotak persegi. Namun, ecobrick memang bertujuan sebagai pengganti batu bata konvensional untuk membuat bahan bangunan seperti sekolah dan rumah. Seiring berkembangnya kreativitas para pemerhati lingkungan saat mengolah limbah plastik dengan metode ecobrick, hasil daur ulang tersebut bisa dimanfaatkan pula untuk membuat barang bermanfaat lainnya, seperti bangku, meja, perabotan indoor, ruang kebun, dan pagar rumah.
Ecobrick dibuat dari potongan-potongan kecil sampah plastik seperti kemasan makanan atau minuman, stryofoam, sedotan, dan tali plastik yang dimasukkan ke dalam botol plastik kemasan 600 ml. Tentu saja plastik-plastik itu dibersihkan sebelumnya. Agar bentuk ecobrick nyeni, tentukan warna untuk bagian bawah botol. Soalnya, dalam penggunaan nanti, bagian bawah ini kemungkinan besar yang akan tampak. Agar bisa menjadi bata, potongan-potongan tadi harus dipadatkan menggunakan kayu atau tongkat.
Baca Juga: Stop Sampah Plastik! Berbelanjalah di Bulkstore
“Berat ideal ecobrick adalah antara 200 dan 250 gram. Maka, perlu ditimbang dulu seandainya sudah penuh botolnya. Ecobrick yang sempurna, saat ditekan tidak mengeluarkan suara dan tidak kempes,” kata Harpi.
Karena menjadi solusi tuntas itu, River Ranger pun lebih memilih cara ini. Mereka pun turut menyebarkan pembuatan ecobrick melalui beberapa workshop. Salah satunya saat ada acara pameran flora di Lapangan Banteng Jakarta Pusat. Lewat cara-cara seperti itu dan mendidik anak-anak untuk peduli dengan sampah plastik, River Ranger mencoba mengirim pesan bahwa, “Bumi ini warisan, bukan titipan,” Harpi menutup perjumpaan kami di kebun salak Astawana, Condet, Jakarta Timur.
Gaya Hidup Ramah Lingkungan
Kelas belajar River Ranger tak hanya diisi dengan bahasa Inggris dan penanaman soal kesadaran lingkungan saja. Syafiq Harpi mengenalkan dengan beberapa wawasan lain. Anak-anak yang awalnya berjumlah enam dan kini berkembang menjadi 15 itu juga diajari soal fotografi dan sinematografi. Mereka juga bekerja sama dengan komunitas lain, seperti yang sedang dilakukan saat ini
Mereka juga diajarkan untuk bergaya hidup ramah lingkungan. “Belanja bawa kantung sendiri. Setiap pertemuan (Rabu dan Jumat) tidak ada plastik sebagai wadah konsumsi. Kalaupun ada sampah, sampah organik yang bisa dijadikan pupuk,” kata Harpi.
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR